Yang Tak Pernah Datang

December 02, 2015

Aku sadar aku sedang mengulur waktu. Kubayangkan sejam adalah 78 menit dan putaran jarumnya begerak dengan slow motion. Andai saja bisa lebih lambat lagi atau berhenti sama sekali. Sehingga jam 9 tak akan pernah terjadi. Tapi detik demi detik yang terjamah ujung jarum jam semakin membawaku ke sana. Kuketuk-ketukkan jariku di permukaan meja, berusaha mengalahkan kerasnya suara detik sialan dari dinding itu. Mungkin seharusnya kubanting saja, tapi kupaksa diriku untuk menghargai satu-satunya pemberian darinya. Darinya yang sejam lagi akan ada di hadapanku. Darinya yang selama setahun ini menguap bersama udara yang kuhirup.
Kuakui aku takut menemuinya. Pesan singkatnya kemarin malam yang menyuruhku datang ke kedai kopi favoritnya mengganggu ketenanganku seharian ini. Bagaimana ia muncul dengan tiba-tiba dan berlagak seolah semuanya masih berjalan normal adalah satu alasan keenggananku beranjak dari kamar kos yang pengap ini. Bukan berarti aku tidak menantikan momen-momen satu jam lagi. Akan tetapi, baru kutahu bahwa penantian panjang ternyata berujung pada kemuakan dan rasa mual yang mengaduk isi perut.
Seperti apa dia yang selama ini mendekam dalam penjara pikiranku selama satu tahun. Masih samakah seperti saat kali terakhir ia membalikkan punggung menuju kereta jurusan Surabaya. Apakah keberadaannya di Malang adalah untuk benar-benar pulang atau ini hanya pertemuan di sela-sela kesibukannya. Apakah kata “cinta” yang selama ini tak pernah terlontar di antara kami akan kudengar dari mulutnya. Atau justru ini adalah awal bagi kami saling menjadi orang asing.
Kulirik jarum panjang yang bertengger di angka 8. Bagaimanapun, detik jam tak pernah berhenti dan selama apa pun aku mengulur waktu, angka 9 dan 12 pasti akan membentuk sudut siku. Kutarik napas sebentar. Begitu tekadku bulat untuk mengabaikan semua perkataan yang akan ia keluarkan nanti, kusambar kerudung biru dongker dari gantungan untuk kukenakan sembarangan. Aku tak perlu tampil cantik di depannya. “Just the way you are”, begitu ia pernah mengatakannya padaku berjuta tahun lampau. Jadi aku hanya menambahkan kardigan hitam sekadar untuk menghalau dinginnya Alun-alun Batu yang sebentar lagi kupijak.
Air, aku di Malang. Ayo ketemu jam 9 besok malam di Cangkir.” Bisa-bisanya aku tunduk hanya dengan sepotong kalimat ini muncul di layar ponselku. Setelah kurenungi, mungkin bukan karena kalimat ajakannya, melainkan kata pertama yang ia tulis di sana. Setelah sekian lama, dia masih memanggilku dengan sebutan itu, Air.
Kamu seperti air yang mampu meredam bara di hatiku.
Aku adalah Air, dan dia adalah Angin. Seperti itu kami menyapa satu sama lain sejak enam tahun silam. Semenjak entah bagaimana, perasaan kami bertaut tanpa harus memperjelas semuanya. Bahkan ritual menyatakan cinta pun tak pernah kami lakukan. Mentari menghangatkan cerita kami. Lalu hujan menyatukannya.
“Zzzzrrrsshh....”
Hujan turun tepat ketika langkahku memasuki pintu warung kopi bertuliskan Cangkir. Aku langsung disambut oleh kepulan asap yang mengitari meja-meja tua. Ini kali kesekian aku ke sini semenjak kepergiannya tahun lalu. Atmosfernya selalu sama, kedai berdinding bambu ini selalu dipenuhi manusia-manusia tak kenal lelah yang selalu memamerkan gelak tawa dan kecanduannya mengobrol. Dulu dia bilang, suasana bising di tempat inilah yang membuatnya betah berlama-lama menyesap kopi. Karena keramaian membawa kehangatan yang tidak dibuat-buat, begitu ia pernah berkata.
Dia belum datang. Kuraih kursi di dekat jendela samping kanan. Kuamati bulir-bulir hujan yang menempeli kaca dan akhirnya tergelincir. Kusadari betapa usahaku selama ini untuk kembali pada masa-masa bahagia kami telah menemukan lintasan terjun bebasnya. Seperti bulir-bulir air di hadapanku yang pasrah menuruti gravitasi. Mungkin kali ini sosok populer yang selalu riang itu telah mampu menjelma gravitasi, memenangkan waktu dan ruang hidup milikku. Buktinya sekarang. Aku terpaku sendiri menangkup secangkir kopi hitam favoritnya sambil menerawang jendela yang basah.
Jam di tanganku telah berdetik sedikitnya 7200 kali. Kopiku tinggal ampas dan aku masih duduk sendiri berlatar riuh rendah suara para penikmat malam. Ponselku pun masih bergeming. Kurapatkan kardiganku sembari memesan secangkir kopi lagi. Kuabaikan sindiran langit malam yang tidak memunculkan gemintang. Kulemparkan tawa nyinyir pada rintik yang tidak reda-reda. Meski pekik sialan menggema menggedor-gedor relung batinku, namun tidak sepenuhnya kemarahan menguasaiku. Ada selintas tawa yang kurasakan mendobrak kekesalan.
Salahmu sendiri karena mau menunggu. Sebenarnya kau tahu sejak awal bukan? Bahwa dia tidak akan pernah datang. Kan kau sendiri yang paling tahu bagaimana dirinya.

Dia memang tak akan pernah datang. Sebodoh diriku yang masih menunggunya.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

His Rhyme

His Rhyme
gave me the strength