Hai, apa kabar Nisanmu belum lumutan juga ya? Tanah kuburmu masih basah dan gembur pula. Sementara rambutku terlanjur menguban, kulitku mengerut dan mataku mengabur. Maaf jika aku datang dengan berantakan. Aku tak sempat menyisir rambut atau menabur bedak. Kupikir kau lebih suka melihatku seperti ini. Waktu juga ikut menua, kau tahu. Dia makan dagingku dan daya ingatku, Itu dosa yang harus dia bayar....
Aku pernah Memandang hujan sebagai tubuhmu yang menyiratkan asa Aku pernah Mendengar hujan sebagai suaramu yang menyanyikan rasa Aku pun pernah Mengutuk hujan karena ia Ternyata tak pernah Mengenalmu Aku pernah mencintai hujan pada titik aku gila bersetubuh dengannya mengoyak permukaannya mencumbui kedalamannya menjilati kaca yang tersentuh tetesnya melebur bersama iramanya Sebelum hujan menguak rahasianya Kau sudah bisa memiliki hujan Aku tak lagi...
Sakau di atas tumpukan ganja yang layu, kau bagiku Inspirasi yang muncul terlambat Menguar bersama isapan cerutu yang tak beraroma Kau adalah penumpang yang ketinggalan kereta Namun bersikeras menggapai gerbong Tak lagi ada kursi buatmu, di memoriku Kecuali lambaian sapu tangan di peron stasiunyang mau berangkat Aromamu sempat memabukkan Kini kau candu murahan memuakkan Kau adalah sisa mimpi yang terlambat dibangunkan Maka biarkan...
Kau tak bisa jadi inspirasiku Entah kenapa Dia yang bisa Selalu saja Padahal ingat namaku dia, mungkin sudah tak lagi Tapi kau tak peduli kenapa itu bisa terjadi Aku bilang cinta kau pun Kau masih tak akan peduli Dan aku tak tahu kenapa itu bisa terjadi Maksudku kenapa aku bisa bilang cinta kau Padahal masih dia yang menginspirasi ...
Aku tak bisa mengisi kesepian malam Malam sudah ditakdirkan sepi Yang bisa dilakukan bulan hanya Menyatu dengan gelapnya Mempermanis sepinya, paling tidak Orang-orang menjodohkan kami tanpa hak Bulan dan malam tak pernah terpisahkan Padahal aku selalu ada meski malam tak ada Ia hanya membantuku terlihat oleh mata Apakah aku bersinar dari tempatmu memandang? Aku ingin melihatku dari sana Dari tempat yang ada malam...
Ingin aku mencapai tahap ketika aku berhenti “menghakimi”. Melebur dengan segala perbedaan. Melupakan batas yang mampu menguraikan “kita” menjadi “aku” dan “kamu”. Tapi lagi-lagi, aku masih berada di puncak egoku yang tertinggi. Aku masih ingin menguasai sesuatu. Dilihat dan mendapat decakan kagum dari orang-orang. Sedangkan jarakku dengan singgasana kuasa itu masih 5000 anak tangga jauhnya. Dan tanganku masih selalu gatal untuk mengibaskan sesuatu...
Aku sempat telah bersumpah bahwa tidak akan menulis apa pun tentangmu lagi. Tapi nyatanya di sinilah aku, dini hari, menandaskan kopi, mengenangmu, kembali dengan aksara. Pengaruhmu terlalu kuat, bahkan ketika eksistensimu harusnya sudah lenyap dari peredaran satelit kalenderku. Mungkin karena musik kita yang terputar di playlist laptopku? Apalah kenangan yang tersisa darimu, selain empat menit satu detik lagu mellow itu. Kutusuk diriku berkali-kali dengan memutarnya lagi...
Seperti merpati yang tiba-tiba mengelu dari lubang di sangkarnya, nuansa ini tiba-tiba saja merangkulku dari segala penjuru. Nuansa yang sering kuhafal ketika aku mulai bosan dengan kehampaan. Aku menyambutnya sebagai ucapan selamat datang atas pintu menuju labirin gelap. Karena aku tahu aku akan mati oleh koyakan sepi. Karena merpati itu tidak pernah terbang, ia hanya menyembulkan lehernya. Sebenarnya ia sudah tak lagi mampu...
Mempelajari sejarah membuatku tak bernafsu makan. Mengetahui sejarah membuat perutku mual-mual. Ternyata Indonesiaku dulu seperti tempat pembuangan. Berantakan. Penuh dengan semua hal. Bau anyir. Basah keringat. Acakadul. Di sana ada penyiksaan, perjuangan, pembantaian, penipuan, dan pembodohan. Sampai dengan sekarang, Indonesiaku telah melewati berbagai batu terjal, termasuk melindas penghambatan. Satu fakta yang sampai kini masih disarangkan. Mencapai hingga seperti sekarang, Indonesiaku harus mengorbankan banyak...