Yah, Beginilah Adanya, Sejarah Negeriku

January 04, 2016

Mempelajari sejarah membuatku tak bernafsu makan. Mengetahui sejarah membuat perutku mual-mual. Ternyata Indonesiaku dulu seperti tempat pembuangan. Berantakan. Penuh dengan semua hal. Bau anyir. Basah keringat. Acakadul. Di sana ada penyiksaan, perjuangan, pembantaian, penipuan, dan pembodohan. Sampai dengan sekarang, Indonesiaku telah melewati berbagai batu terjal, termasuk melindas penghambatan. Satu fakta yang sampai kini masih disarangkan.
Mencapai hingga seperti sekarang, Indonesiaku harus mengorbankan banyak nyawa. Darah harus muncrat di mana-mana. Ketakutan pastilah memeluk manusia tiap malam. Aku tak bisa membayangkan, seandainya aku ada di sana. Untuk mengibarkan bendera yang merah dan putih, leluhurku harus merancang strategi dan mengasah golok. Indonesiaku pernah melewati masa-masa itu. Kini aku hanya bisa mengheningkan cipta, kepada mereka yang sempat meneriakkan “Merdeka!”. Mungkin dengan begini aku bisa sedikit hormat pada tanah air ini. Bahwa kemerdekaan tak akan pernah ada jika perlawanan tak dilakukan.
Namun belajar sejarah juga membawaku pada ketercengangan, di mana aku menemukan banyak fakta yang tak kutemukan di buku Sejarah. Malpraktik Sejarah, seperti yang disebutkan tokoh Alam di Novel Leila S. Chudori yang berjudul Pulang. Negeri ini membodohkan bangsanya sendiri. Membawaku pada fakta ironis bahwa tujuan negara yang setiap kali dibacakan di Upacara Senin hanya sebatas ritual merapal naskah tak bermakna.
Terima kasih pada Gie. Menonton film Gie membangkitkan seluruh emosi yang tak pernah kurasakan selama ini tentang sejarah bangsaku. Sekotor itu negeriku di masa lalu. Kini kami tinggal enak duduk dan menyantap pangan olahan petani yang nasibnya masih saja belum pasti. Kecuali ibumu membeli beras impor, maksudku. Kini kita tinggal berpose di depan kamera tanpa latar belakang bangunan terbakar dan orang-orang pontang-panting melarikan diri. Kini merah adalah simbol berani, warisan dari lumuran darah di Sungai Bengawan Solo, Salemba, dan jalan-jalan protokol tahun 1998 yang tak lagi sempat mendeklarasikan keberaniannya dalam bentuk testimoni untuk dipamerkan. Berani mati, kubilang. Demi sebuah revolusi yang dielukan-elukan, dulu, dulu sekali, oleh para pembangun bangsa yang tak pernah dihargai. Bahkan untuk sekedar dijenguk kisah hidupnya. Memang bukan semua generasi bangsaku yang memalingkan muka pada aktor-aktor yang membuat mereka sekarang bisa nyenyak tidur di kasur, melainkan hanya segelintir saja yang mau repot-repot mengulik sejarah.

Kan aku jadi teringat lagi pada guru sejarahku yang tak kenal lelah menyisipkan kata “Jasmerah” di setiap diktat presentasinya. “Jangan sekali-sekali melupakan sejarah”, dia bilang. Ingin sekarang kutimpali pernyataan itu. Sejarah yang mana, Bapak? Sejarah yang ditulis oleh sejarawan suruhan pemerintah, atau sejarah yang dibuat oleh alam raya tapi tak pernah dimaktubkan dalam selembar kertas milik negara?

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

His Rhyme

His Rhyme
gave me the strength