Ayah, Ibu — Seputar itu sajalah yang bisa kuceritakan padamu

January 13, 2018



Kenapa jika berhadapan dengan ayah, suaraku selalu bergetar. Bukan gemetar takut menghadapi sosok jangkung berkumis itu. Bukan juga getar menggigil akibat aura dingin yang melekat di dirinya. Melainkan lebih kepada bergetar karena bahagia dan sedih campur jadi satu. Perasaan apa itu namanya?

Bahagia, karena kalau aku tak salah ingat, percakapanku dengan ayah bisa dihitung jari—sayang sekali aku tak mau menghitungnya. Sekolah Dasar hingga Menengah, topik obrolan kami hanya seputar bayar SPP, bayar iuran, beli buku, dan semua yang berhubungan dengan “hal yang tidak bisa ditangani oleh ibu sendirian”. Jika bukan itu—jika aku ingin sekali ngobrol dengannya—kupastikan dulu aku punya bahan obrolan. Kisah di sekolah, misalnya. Apakah ada temanku yang kesurupan, guruku yang tidak becus, atau ada bencana yang begitu serius menimpaku. Menurutmu itu adalah obrolan “sehari-hari” yang wajar didiskusikan anak dengan ayahnya? Percayalah, semua itu bukan peristiwa yang bisa terjadi “sehari-hari”.

Unsur sedih ikut berkontribusi lantaran, entahlah, ada begitu banyak kesedihan ketika aku melihat ayah. Dia menua, tapi detik-detik yang ia jalani hingga sampai pada usianya yang sekarang, bukan untuk membawa manfaat pada dirinya—dan seluruh keluarga. Meski bukan soal uang, ia tak mempersiapkan apapun untuk hari tuanya. Kesehatan, misalnya, batin dan fisik. Sehari ia bisa menghabiskan 3 bungkus rokok bahkan lebih. Fisik masih belum apa-apa, dibandingkan batinnya yang aku yakin, bergejolak hebat namun lihai ia kubur bersama ekspresi datar nan tajamnya itu. Dia pernah mengaku ingin menjadi orang yang tua pada umumnya, sebutlah “melakukan ritual ibadah dengan rajin”. Tapi aku tahu benar bahwa kondisi rumah tak memungkinkan baginya untuk menunaikan itu.

Sedihku yang lain adalah tentang betapa banyak bahasan yang sebenarnya ingin aku bicarakan dengan ayah, tapi alih-alih malah bahasan-bahasan “receh” itu yang kupilih. Aku lebih memilih membicarakan orang lain ketimbang apa-apa yang menyangkut kami. Bagaimana hubungan anak dan ayah seharusnya, misalnya. Refleksi atas kakakku yang tidak berhasil menamatkan pendidikannya di bangku kuliah. Refleksi atas adikku yang tumbuh dengan jiwa pembangkang.

“Bahwa ada yang salah”, aku pernah bilang suatu hari di depan mereka semua, di ruang tamu yang jadi satu dengan tempat kerja ayah. Suaraku gemetar hebat. “Ada yang salah di keluarga ini”, lagi aku tekankan notasiku. Berpikir bahwa mungkin ini bisa berujung pada diskusi yang sehat dengan pikiran terbuka antaranggota keluarga. Namun, usahaku yang sangat progresif itu harus merelakan dirinya mengempis dan layu. Lantaran aku tak bisa menahan emosiku yang begitu meluap, berlanjutlah kalimatku pada sesenggukan. Tak ada yang melanjutkan, tak ada yang menguatkan. Pembahasan berakhir pada pilihan; apakah kakakku masih mau memeras keringat ayah dan ibu, ataukah ia harus mencari cara untuk menghasilkan keringat sendiri.

Lain ibu, dengannya aku dipaksa untuk menjangkau masa depan yang bagiku sama sekali buram. Pertanyaan pengantarnya selalu begini; Nanti mau kerja apa? Mendalami jurnalistik atau perpustakaan? Jawabanku lantas selalu; Ndak tahu, Bu. Lulus dulu deh. Lulus aja belum. Kemudian pembicaraan akan bergulir menuju; betapa gentingnya aku harus kerja, betapa kakak sudah tidak bisa jadi tumpuan, betapa ayah apalagi, betapa dan betapa nestapa. Seolah ibu memasangi kaki dan tanganku ribuan borgol tak kasat mata yang selalu ia pegang ujungnya. Pesannya yang paling terpatri—karena yang paling kutentang dalam hati—yakni betapa aku tak boleh kerja jauh dari rumah, jadi PNS saja. Di rumah, dan jadi PNS, katanya. Seperti nasibku sudah pasti. Duduk di belakang meja, terima gaji. Atau kalau tidak, kerja sampai sore—jam 4 maksimal, mungkin—dari pagi, lalu tampa gaji. Hari tua terjamin. Begitu mantranya padaku. Diulang terus-menerus sampai aku tidak mendecakkan lidah lagi mendengarnya. Sampai aku mengangguk dan membenarkan semua perintah tak langsungnya, yang untungnya belum kuangguki.


Ah, Bu... kalau saja kau tahu, apalah arti aku yang begitu kecil di luasnya samudera bentala biru hiijau hitam putih ungu sampai mikrokosmos tak lagi berwarna dan berupa abu. Apalah aku, yang lulus tepat waktu saja, aku tak tahu. Berlomba menyelesaikan skripsi di antara mahasiswa beribu-ribu. Menyandang gelar sarjana agar uang tak lagi beku. Ibu, entahlah apa kelak aku bisa menyebut namamu tanpa kau merasa malu. 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

His Rhyme

His Rhyme
gave me the strength