Bilangan Fu : Segala Dogma dan yang Tabu

December 26, 2017

Photograph: Rethiya

Pertama kali buku ini hadir di mataku, adalah sejak kakakku mencomotnya dari perpustakaan kampusnya di Surabaya dan ditangkringkan di rumah. Itu sudah sekitar 8 tahun lalu. Tidak ada yang berkesan dalam indra, selain peringatan samar kakakku “Ini novel dewasa, jangan dibaca”. Hingga 3 tahun terakhir aku berkenalan ‘lagi’ dengan Ayu Utami lewat karyanya, Saman. Sejujurnya aku tertarik padanya lantaran sempat kubaca salah satu situs yang menyinggung pernyataan Taufiq Ismail tentang aliran sastra ‘selangkangan’. Ayu Utami, adalah salah satunya, di antara jajaran nama pengarang yang aku kenal seperti Djenar Maesa Ayu. Selangkangan, katanya, mungkin dengan sebersit raut jijik namun heran di wajah seniman nasionalis itu ketika mengatakannya. Kau mengharapkan erotisme dari kata selangkangan itu, kawan? Percintaan yang melibatkan puncak orgasme? Jangan harap. Maksudku, kitab ini memang erotis. Tapi tidak erotis dalam kerangka picisan novelis-novelis yang bisa mengeluarkan lebih dari 5 buku dalam setahun, kau bisa sebut Tere Liye kalau mau. Erotisme kitab ini—aku menyebutnya kitab karena darinya aku menemukan wahyu pencerahan—ada dalam pemikiran-pemikiran jenius Ayu yang bisa mengaduk-aduk hati, otak, keyakinan, dan mungkin juga ya, sedikit, selangkanganmu.
Kudapat novel ini setelah menjelajahi sepuluh tab google, seluruh situs belanja online, dan postingan instagram, juga beberapa toko dan lapak buku di Malang. Nihil. Kuhentikan pencarianku. Kutunda, lebih tepatnya. ‘Menunda kebenaran’, kalau kata Ayu dalam buku ini. Sebab kebenaran yang tertunda hari ini akan membuahkan kebaikan. Sementara kebenaran yang dibiarkan jatuh ke tanah, hanya akan menghasilkan obsesi kekuasaan. Otakku memang sudah gatal ingin menelanjangi jalan pikiran Ayu lewat karyanya yang ini. Sebab kedua tulisan sebelumnya yang aku baca, Saman dan Larung, sungguh jancuk! Maka bak Laila yang bertemu Majnun—bukan aku yang gila seperti Majnun, tapi novel inilah yang gila—aku langsung mengklaimnya sebagai milikku ketika temanku 'Rethiya' menyodorkan postingan penjualan buku ini, bahkan sebelum kuhubungi admin lapaknya.
Bilangan Fu, kawan, adalah oase di tengah suasana zaman yang sudah pengap akan dogma-dogma agama dan kebenaran abu-abu yang didengung-dengungkan mulut penguasa. Meski ia dilahirkan tahun 2008, tapi oh sungguh, betapa ia kitab yang masih relevan sampai kapan pun. Setidaknya selama agama-agama yang merasa paling benar, hingga menumpas semua hal yang dianggap menghalangi jalan menebarkan spora ‘dogma’ disebut membela Tuhan, masih tumbuh subur di negeri ini. Dan tidak pernah terbayangkan olehku bahwa ada masa ketika mereka berhenti. Kuperingatkan, untuk membaca buku ini, pikiranmu harus menjelma cakrawala. Menampung dan membuka. Sebab jika belum pernah bagimu menerima gagasan-gagasan di luar kehendakmu, kau hanya akan merasa benci pada Bilangan Fu. Pada Ayu juga,  dan seluruh karyanya, mungkin. Tapi toh ia tak akan peduli kebencianmu. Sebab dalam novel ini, nilai-nilai yang coba disodorkan Ayu bukan hanya sekadar naratif persuasif, tapi juga kritis. Ia turut membuat kita merenungkan kembali perspektif-perspektif lama yang kita bangun selama ini. Melalui begitu banyaknya data yang ia sajikan sehingga apa yang ia tulis bukan sekadar hasil imajinasi dan isapan jempolnya di depan layar. Melainkan pembangunan logika menjadi kepercayaan yang diperkuat dengan betapa serius risetnya untuk menciptakan Bilangan Fu. Alhasil, bacaan ini bukan bacaan yang membuat kita bisa melalui hari-hari tanpa terdengung-dengung kalimat-kalimat di dalamnya. Sebab jika kau sudah terguncang setelah membacanya, kau sudah membacanya dengan benar.
Nilai cerita dalam novel ini mungkin dihadirkan melalui kisah tiga manusia yang terlibat keintiman asmara dan persahabatan yang dalam, antara Parang Jati, Sandi Yuda, dan Marja Manjali. Mereka saling mencintai, bahkan antara Jati dan Yuda. Tak ada yang bisa menandingi romantisme macam apa yang terjadi di antara mereka hingga Yuda bersedia jika sahabatnya itu menyetubuhi Marja, kekasihnya, jika keduanya pun mau. Kisah inilah yang membalut gagasan-gagasan pemikiran Ayu mengenai spiritualisme kritis dalam Bilangan Fu. Mungkin ini juga yang menjadi daya tarik novel ini. Mengingat inilah yang dituliskan sebagai review di sampul belakang buku. Kisah cinta, bayangkan, kisah cinta! Padahal buku ini lebih dari sekadar narasi romantis menye-menye dalam sebuah hubungan segitiga! Aku menduga Ayu menjadikan tiga aktor ini hanya sebagai kedok. Pemberi rasa asin, tapi bukan MSG. Bukan juga pemanis, karena novel ini tak ada manis-manisnya, jika konsep ‘manis’mu adalah semacam melankoli yang cocok bersanding dengan suasana hujan atau lagu sendu. Karena mereka hanya sebagai kedok, menurutku, maka sebenarnya bukanlah mereka inti dari buku setebal 548 halaman ini. Meski bukan berarti kau bisa mengabaikan mereka bertiga pula. Aku yakin, kau tak akan bisa mengabaikan karakter-karakter yang dilekatkan Ayu dalam spirit mereka begitu terjerumus dalam agama Fu. Tapi setidaknya, jangan terjebak ke sana untuk mengambil sesuatu dari kitab ini. Kalaupun hanya itu yang ingin kamu ambil, buang saja buku ini dan jangan pernah membacanya lagi.
Beberapa anti pada setiap huruf yang tertempel di sini. Mengatakan, mencaci, bahwa ini adalah hasil pemikiran Goenawan Mohammad. Hubungannya dengan Ayu, bahwa Ayu tak akan pernah bisa menulis tanpa dirinya. Paling ekstrem, mengatakan bahwa buku ini ditulis oleh GM. Sebagian menganggap, sebuah karya tak akan pernah bisa lepas dari penulisnya. Latar belakang, ideologi, agama, pemikiran, bahkan jenis kelamin. Sebagian, adalah orang-orang yang sama sekali tak peduli. Bahkan jika ia terlanjur menjadi fanatik sebuah buku tanpa tahu siapa pengarangnya! Itu tolol. Ya. Tapi para pemikir sempit yang melecehkan karya hanya karena mereka terlanjur jijik pada penulisnya, bagiku juga tolol. Jika yang dibilang mereka adalah benar, bahwa Ayu Utami tak bisa menulis, maka dia memang berengsek betul. Tapi toh, siapa yang bisa tahu kebenaran? Kebenaran terbentuk dari rumor yang dibenarkan dan dikatakan berkali-kali. Bagaimana jika bukan ia yang menulis? Jika yang menulis memang GM? Bodo amat. Aku akan memreteli semua dogma yang tertanam di setiap kalimat dalam buku ini, mengambil semua yang ingin kupercayai, dan membuang yang terlalu bodoh untuk dibaca lagi. Dengan begitu, aku sama berengseknya dengan Ayu. Lagipula, kau tak bisa memaksakan kesempurnaan pengarang pada buku yang kau anggap sempurna. Apakah orang harus jadi sempurna dulu untuk bisa menulis? 
Sampai saat semua kepercayaanku runtuh, bagiku buku ini masih yang terbaik. Tidak kusarankan, sekali lagi, untuk membaca buku ini jika otakmu masih penuh pintu, jendela tertutup, usang, bersarang laba-laba, dan mau mati. Boleh, jika kamu masih enggan mati.
Selamat bertelanjang dengan Fu.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

His Rhyme

His Rhyme
gave me the strength