DIALOG KOPI

March 06, 2017


Teman-teman cewekmu pasti juga banyak yang pecinta kopi, toh?
Enggak. Cuma kamu.
Aku tertawa. Lantas, mereka suka apa? Rokok?
Gincu. Dan bedak tebal.
Tapi kau betah bersama mereka.
Tidak sebetah ketika bersamamu.
Ah. Petualang sepertimu mana tertarik dengan kutu buku seperti aku.
Kau juga petualang. Dengan buku-bukumu.
Oh, ayolah. Apa serunya duduk-duduk sambil mantengin huruf, dibanding dengan menantang hujan dan mentari. Merasakan angin laut dan gunung.

Kau merendah. Tidak ada yang bisa menang melawan deretan huruf berjam-jam sepertimu. Kebanyakan yang lain akan ngantuk dan memilih tidur.
Aku takjub. Ya ya, aku paham maksudmu. Kita merasakan keseruan dengan cara kita masing-masing. Begitu, kan?
Kau pandai merangkai kesimpulan.
Kau pandai merayu.
Karena kau layak dirayu.
Hentikan. Kau lucu kalau seperti itu.
Seperti apa?
Itu. Sok pamer dengan bidang keahlianmu. Me-ra-yu.
Kau memang wanita sulit. Kebanyakan mereka akan langsung menyerahkan diri padaku. Tapi bentengmu itu, sungguh kokoh.
Kini aku tertawa makin nyaring. Kau pantang menyerah ya?
Kalau tidak, aku tak akan jadi backpacker.
Benar. Kutepuk telapak tanganku satu kali. Sambil mengangguk juga satu kali. Dan sambil sedikit senyum, kurasa. Setelah ini, kau mau ke mana?
Hatimu.
Sudah kubilang hentikan itu. Kau terlihat makin konyol.
Benarkah? Hmmm... Dia berpikir.
Aku menunggunya menyelesaikan gumaman.
Kurasa aku benar-benar serius yang tadi.
Hah?
Tempat aku bisa merasakan keseruan paling menarik dan menantang. Hatimu. Aku sudah bulat mau ke sana.
Aku menggeleng tak percaya. Senyum tertahan. Kau gila.
Apa? Kau tak percaya?
Bukan. Tapi kau sudah pernah bilang berkali-kali ini padaku sebelumnya.
Aku tahu. Aku ke sana berkali-kali, tapi pintunya selalu tertutup. Makanya aku selalu balik ke sana lagi.
Apakah kau pernah mengetuknya?
Bagaimana aku bisa? Pintunya dari baja. Kuketuk pun, yang di dalam tidak akan mendengar.
Aku bersiap mau membantahnya.
Didobrak? Aku tidak mau pintunya roboh dan melukai benda rapuh di dalamnya. Jadi gagangnya harus dibuka sendiri dari dalam. Jeda lama.
Permukaan kopi yang semula kutatap tenang mendadak buyar oleh satu titik tetesan dari pipi.
Aku akan pergi.
Aku menengadah, bertemu dengan sinar matanya yang membantai.
Air matamu jatuh karena kau menyesali pengkhianatanmu padanya. Bagaimana kau bisa membuka hatimu jika memaafkan dirimu sendiri saja, kau harus menang dulu melawan waktu?
Tak ada yang bisa menang melawan waktu. Yang ada hanya menerima bahwa waktu selalu bergerak bebas meski kita setengah mati berusaha menghentikannya.
Kau bahkan masih menghafal perkataan terakhirnya sebelum dia meninggalkanmu.
Di mana dia? Apa kabar dia sekarang?
Kau mau melayatnya hari ini? Mau kutemani?
Aku menggeleng. Aku punya pembicaraan rahasia dengannya hari ini. Maaf.
Well, dia mengedikkan bahu, masih belum duduk kembali. Justru mengangkat carrier-nya. Aku akan menemuimu lagi setelah aku kembali dari Vietnam.
Kau mau berpetualang lagi?
Kau mau ikut?
Apakah menakutkan?
Tidak semenakutkan berputar-putar di dalam jalan buntu kenanganmu sendiri.
Berhenti mengejekku. Aku hendak beranjak untuk bangun ketika dia mendorongkan wajahnya ke arahku, untuk sejurus kemudian melumat bibirku. Ia mencium tanpa menyentuh. Hanya dua bibir kami yang saling berpagut. Setelah itu ia melepaskan ciumannya.
Seperti itulah berpetualang, bisiknya kemudian.
Aku tak heran kau ketagihan, balasku juga dalam bisikan.
Ia hanya memberiku seringai.
Bawa aku kalau begitu.
Kau bukan barang yang bisa kubawa-bawa. Kau harus ikut sendiri.
Kenapa kau begitu menyiksaku?
Tidak. Aku menyayangimu.
Kenapa kamu menyuruhku bangun sendiri, ketika kamu bisa saja menyiramku dengan air? Sangat susah menemukan jalan lolos dalam mimpi.
Apakah aku harus membangunkan seseorang dari mimpinya, sementara malamnya yang harus dia lakukan hanyalah berbaring kembali dan terpejam?
Kumohon! Aku tak bisa keluar dari kenangan sialan ini! Aku lelah bergumul dengan bayangan.
Lihat aku, dia menangkupkan tangannya di kedua pipiku. Lelahmu masih kau anggap kenikmatan luar biasa, masokis abadiku. Yang bisa membebaskan dirimu, hanya dirimu. Cintaku tumbuh seiring makamnya yang tetap basah karena hujan, dan bukan lagi air matamu.
Kenapa kau lakukan itu padaku?
Apa?
Menciumku.
Karena itu salah satu pesannya di saat-saat terakhir kami bercengkerama. Untuk terus mengirimkan aliran listrik yang akan menjaga jantungmu hidup. Dia sudah mentransferkan listrik itu ke aliran darahku. Katanya, kau paling suka dicintai, agar kau punya alasan untuk tetap hidup. Dia akan terus mencintaimu. Begitu pun aku.
Terkesiap, aku mengulang-ngulang perkataan yang baru saja kudengar di dalam otakku. Cepat balik ya, dari Vietnam. Kuteguk satu kali kopi di depanku.

Ia mengusap rambutku sekilas. Langkahnya ke arahnya Vietnam, sedang aku menuju nisan. Nisan jasadnya sekaligus nisan atas masa lalu yang akan kupesan.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

His Rhyme

His Rhyme
gave me the strength