Benih Padi yang Tersisa

March 28, 2017


Bawa aku di satu masa ketika aku bisa berbaring di atas padang rumput dengan cahaya hangat matahari menyirami pori. Semilir angin yang sayup meredupkan kelopak mata sembari jangkrik-jangkrik kecil berlompatan di atas rambut. Domba-domba menyantap sarapan dan kaki penggembala menggilas sisa-sisa embun dengan kakinya. Bawalah aku ke masa itu lagi.


Kek Dar menghirup napasnya dalam-dalam dengan mata terpejam. Ia mulai sering melakukan aktivitas itu belakangan ini. Meski paru-parunya mulai tak sanggup menampung banyak oksigen. Namun seakan ruang di memorinya sebesar perut ikan paus, ia mampu menelan semua kenangan untuk dikeluarkannya lagi. Kek Dar, Mbah Dar aku menyebutnya, punya jutaan misteri yang ia pikul sendiri. Terkadang aku ingin menguaknya selapis demi selapis. Tapi dia hanya mengizinkanku menguliti hingga lapisan kedua.
“Mbah lagi ngapain?” tegurku membuyarkan gerakan dadanya menyedot udara yang masih bisa masuk lewat hidungnya. Ia duduk di depan serambi rumah yang penuh abu sisa muntahan Bromo sebulan silam. Aku menghampirinya.
Keriputnya menegang karena tarikan bibirnya yang ke atas membentuk senyum. Padahal tak perlu mengenal Mbah Dar terlalu jauh untuk mengetahui bahwa ada beban sebesar Bromo di balik senyumannya. “Cucuku yang bagus....” Ditariknya aku ke pangkuannya. “Apa lagi yang ingin kau ketahui hari ini?” Belakangan ia selalu mendahuluiku bertanya.
“Mbah tadi lagi ngapain?”
“Mbah tadi sedang bermimpi,” bisiknya padaku melalui dua bibirnya yang legam dan tidak mulus.
“Mbah mimpi tidur di padang rumput lagi?” Aku meneleng ke arahnya.
“Ya,” jawabnya.
Aku mendorong dekapan tangannya dari kedua lenganku. “Mbah selalu bilang mimpi tidur di atas padang rumput. Tapi Mbah tidak pernah bilang di mana itu. Apa itu padang rumput. Kapan itu terjadi.”

Mbah mengembuskan napasnya pelan. “Itu hanya mimpi, Cucuku,” ucapnya lantas mengalihkanku pada topik obrolan lain yang selalu berhasil membuatku lupa tentang mimpi-mimpi Mbah untuk sementara waktu.
Suatu hari aku melihatnya sedang menghirup napas sambil memejamkan mata lagi. Kubawakan sepiring kaktus dari belakang rumah atas perintah Ibu. Kakek tertawa begitu pandangannya tertuju pada hidangan yang kubawa. Aku bertanya-tanya dalam hati, apakah Ibu memasaknya terlalu lembek hari ini.
“Tidak, tidak, Ibumu memasaknya dengan sempurna hari ini,” katanya seolah menjawab pikiranku. “Aku hanya merindukan nasi,” gumamnya kemudian.
“Nasi? Mbah Samin kemarin juga mengatakan hal yang sama kepadanya. Samin menebak itu adalah sejenis kaktus yang langka di bumi,” celotehku.
Tawa Mbah makin menggema. Abu beterbangan dari kumisnya yang kuning gading.
Aku semakin kesal pada semua rahasia yang seolah hanya orang-orang yang sudah hidup ratusan tahun seperti kakekku yang boleh tahu. Aku sebenarnya bisa mengancamnya untuk bercerita dengan mogok makan selama seminggu. Tapi aku takut itu malah akan membuatnya mati duluan sebelum aku.
Kami Suku Tengger, hidup di sebuah tempat di lereng gunung Bromo yang sering meletus. Hanya ada beberapa rumah di sini. Kebanyakan penghuninya adalah orang-orang yang umurnya sudah ratusan tahun. Tapi aku tidak pernah berani mengetuk pintu rumah tetanggaku yang lain. Terakhir kali aku berkunjung ke sana, mereka sedang terbujur kaku di kursi sambil menghadap jendela. Tak berkutik selama berjam-jam dari posisinya. Ketika kutanyakan hal itu pada kakek, ia menjawab bahwa mereka juga sedang bermimpi seperti yang sering ia lakukan di serambi rumah. Meski aku merasa mereka seperti sedang menunggu kematian.
Aku mendiskusikannya dengan Samin tentang misteri-misteri yang disembunyikan kakek kami berdua. Samin adalah temanku di mana pun. Ia juga merasakan kemisteriusan yang sama dari istilah-istilah aneh yang sering diucapkan kakeknya di rumah. Kakek Samin sering datang ke rumahku untuk bercengkerama dengan Mbah Dar. Mereka selalu berbisik-bisik di belakang rumah, menghadap tembok beton yang dibangun untuk melindungi kami dari terjangan badai pasir.
“Menurutmu Romo Turjan tahu akan hal ini?” Romo Turjan adalah orang paling tua dan disegani di tempat kami. Matanya tinggal satu dan kedua bibirnya tak lagi bisa mengatup. Ada lubang menganga di bibirnya yang bagian bawah sehingga kami bisa mengintip giginya yang hitam dari balik lubang itu.
“Tentu saja. Dia sudah hidup seumur bumi ini,” tegas Samin mantap.
Pintu Romo Turjan membuka hanya di hari-hari tertentu, misalnya ketika salah satu tetangga kami meninggal. Karena jasadnya disemayamkan di halaman belakang rumah Romo Turjan. Ibu kami melarang anak-anak seperti kami berkeliaran di sekitar rumahnya karena mereka bilang salah satu mayat itu bisa bangun lagi dari kuburnya. Karena itulah rumah ini begitu suwung. Kaktus-kaktus di pelataran rumah tak pernah dipetik. Aku tak tahu apa yang ia makan sehari-hari. Atau barangkali ia membiakkan tikus di rumahnya untuk dijadikan santapan siang malam.
“Ini ide yang buruk, Min,” ujarku berkali-kali padanya. Ini ide sintingnya untuk kemari. Ia bilang padaku bahwa dia ingin sekali bertemu Romo Turjan. Baginya, sosok Romo Turjan seperti matahari yang hanya muncul sesekali. Namun begitu menampakkan diri, ia sungguh menakjubkan. Aku hendak berbalik, tapi Samin sudah mengetuk pintu Romo Turjan tiga kali.
Pintunya bergeming. Hanya cicit tikus di pojok jalan yang menyambut kenekatan kami untuk mengeluarkan bunyi di sekitar sini.
Sejurus kemudian, hidung kami bertabrakan dengan daun pintu yang membuka ke arah luar. Samin meringis kesakitan sementara aku menjengit. Sosok Romo Turjan berdiri menjulang di balik pintu. Meski punggungnya sudah bungkuk, namun sesuatu dalam dirinya membuat tubuhnya terasa begitu tinggi di depan kami. Matanya yang sebelah kiri bergerak-gerak miring mencari keberadaan cecunguk yang berani mengusik ketenangan siangnya. Butuh waktu lama baginya untuk berhasil menyadari bentuk kami dari sudut matanya.
Begitu tahu bahwa cecunguk itu adalah dua bocah lelaki berusia 10 tahun, ia terkekeh. “Apa teman kalian meninggal hari ini?” Suaranya serak dan hampir hilang. Lafalnya sudah tak jelas. Ia kesulitan mengucapkan kata-kata yang harus mengatupkan bibir. Namun kami tahu ia berusaha sekuat tenaga.
Kami menggeleng cepat-cepat. Aku melirik ke arah Samin yang terlihat sumringah bertemu idolanya.
“Perkenalkan Mbah, aku Samin dan ini temanku Sarung,” ucapnya takzim.
Romo Turjan menelengkan kepalanya sejenak. “Aku tahu, aku tahu. Kalian adalah cucu-cucu Darian dan Tukim.” Mata Samin semakin berbinar mendengar balasan Romo Turjan yang akurat.
“Apa mungkin Romo juga mengetahui maksud kami ke sini?” tanyaku ragu-ragu.
 “Sudah lama aku tidak kedatangan tamu. Masuklah dulu,” katanya sembari mendorong kami melewati ambang pintu rumahnya. Ia mengabaikan pertanyaanku.
Sengak anyir langsung menyambut hidung kami. Sepertinya perkiraanku tentang ia membiakkan tikus memang benar. Rumahnya lowong. Tak ada perabotan dukun seperti yang aku dan Samin duga. Tak ada kepala ular yang dipajang di dinding atau keris yang ditancapkan di kepala tikus berekor tiga.
Yang mengejutkan, ternyata Romo Turjan adalah kakek-kakek yang ramah dan hangat. Ia menceritakan tentang cucunya yang kini harusnya seusia dengan kami namun meninggal saat masih dalam kandungan karena ibunya tidak minum selama seminggu. Istrinya hilang di tengah badai pasir setahun lalu. Dan kawan-kawan Romo Turjan mati satu per satu. Selama bercerita, ia menyelipkan kekeh tawa di akhir kalimatnya.
Kami menyimak dengan takzim. Terlebih Samin yang tak henti-hentinya mendecak kagum. Aku teringat tujuan awal kami ke sini. Kusenggol lutut Samin. “Nasi, padang rumput,” sergahku padanya.
“Ah ya,” balasnya.
Kami mulai menceritakan tentang mimpi-mimpi yang dilakukan kakek kami. Kami menanyakan arti benda-benda yang tak pernah kami lihat bentuknya. Bahkan tak ada dalam dongeng-dongeng yang diceritakan ibu kami tiap malam. Tentang nasi, tentang padang rumput, tentang domba, tentang kata-kata yang sudah kami tulis di daftar keanehan tentang kakek kami.
Kekeh Romo Turjan langsung sirna saat menyimak cerita kami. Raut cerahnya berubah suram. Seperti ketika kakek sedang bermimpi, ia membusungkan dadanya untuk menghirup napas. Kemudian ia turun dari kursi besinya dan melangkah ke sebuah ruang gelap di seberang kami. Dari sana, ia meraih suatu kotak lusuh dan berselimut debu. Bukan berarti barang-barang di rumah kami juga tak berdebu, melainkan benda itu seperti nenek moyang dari seluruh benda di tempat kami. Auranya tidak kalah misterius dari aura Romo Turjan. Dielusnya benda itu berulang kali. Seperti ketika ibu kami mengelus ubun-ubun kami. Kami bisa merasakan bahwa benda itulah yang membuat Romo Turjan selama ini bertahan dari waktu. Ada sesuatu yang ia jaga hingga tidak mengizinkannya mati.
Perlahan ia melepas tutup kotak dengan susah payah. Seperti sudah ratusan tahun melekat dan tak pernah dibuka. Begitu terbuka, suara Romo Turjan melengking berat dari tenggorokannya. Pundaknya naik turun karena sesenggukan. Ia meratapi benda yang ada di dalam kotak keramat itu. Kami tak tahu harus berbuat apa. Bagi kami, sosok Romo yang seperti itu tak pernah ada. Samin membisikkan sesuatu tentang kesurupan di telingaku.
Cukup lama sampai ia bisa kembali tenang dan menjadi Romo Turjan yang tak bisa mati. Aku berpikiran apakah karena dengan membuka kotak itu, lantas kematian menjadi hal yang bukan lagi musykil baginya? Aku mengenyahkan pemikiran itu begitu Romo Turjan mau bicara kembali.
Ia menyodorkan pada kami sebuah benda yang diletakkan di telapak tangannya. Kami tak mengerti mengapa Romo rela mengulur nyawanya demi benda semacam itu. “Ini adalah bahan baku nasi,” ucapnya lirih. “Namanya beras,” lanjutnya.
Beras yang dibilang Romo Turjan adalah benda seukuran kutu rambut gemuk yang berwarna putih. Bahkan tidak lebih besar dari bisul yang biasa tumbuh di pantatku. Samin mengambil benda itu dari telapak tangan Romo Turjan. Diamatinya beras lekat-lekat tepat di depan bola matanya yang hampir keluar. Ia picingkan matanya sebelah agar lebih jelas. Dibolak-baliknya benda itu, mengira ada sesuatu yang tersembunyi di dalamnya.
“Kemarikan,” seru Romo. Secepat kilat benda itu sudah kembali pada telapak tangan Romo Turjan. “Benda inilah yang memberikan kami kehidupan selama milyaran abad. Benda ini yang kami tanam di setiap petak tanah yang kami punya.”
“Seperti kaktus?” sela Samin.
Romo mengangguk pelan. “Tapi benda ini lebih enak dan membuat kalian tetap bertenaga. Rasanya manis.”
“Kaktus juga manis,” celetukku.
“Kaktus manis karena diberi perasan tebu. Meski ada bahan pokok lainnya untuk kami makan, tapi nasi adalah kenikmatan yang tak terbantahkan.”
Romo Turjan lalu membuat kami kembali ternganga oleh kisah-kisah yang bagi kami tak beda dengan kisah-kisah di buku dongeng. Seperti dongeng tentang monster berkepala separuh ular dan manusia yang melahap matahari. Khayal dan tak mungkin pernah ada. Romo Turjan berkisah tentang langit yang dulu berwarna biru dan putih cerah. Katanya matahari muncul setiap hari dan pohon-pohon berkumpul menjadi hutan. Dia bilang bahwa air bisa mengalir dari atas tebing membentuk air terjun. Hujan turun di setiap bulan Oktober hingga Maret dan anak-anak berkecipak di genangan air hujan sepanjang jalan. Ada hewan selain tikus yang bernama domba dan suka merumput di padang berwarna hijau. Bumi kita dulu seperti itu, katanya.
Samin tak percaya, begitu juga aku.
Lalu kenapa lagit sekarang jadi hitam pekat tanpa matahari? Di mana padi-padi yang menjajar di petak tanah rumah kami? Ke mana domba-domba itu pergi? Bagaimana hujan bisa turun secara teratur dan melimpah ruah begitu? Bagi kami, semua itu sungguh tak masuk akal.
“Aku juga sama tidak percayanya seperti kalian saat bumi masih segar bugar dahulu kala. Aku tak akan pernah percaya sekarang aku makan kaktus dan tikus yang dulu bahkan tak pernah kusentuh,” ujar Romo. Wajahnya terlihat lebih terang kini. Seperti kisah-kisah itu berdiam di dalam relung hatinya sejak waktu yang lama. Ia tak percaya bisa meluncurkan kalimat-kalimat itu pada manusia lain selain dirinya sendiri. Meski bagi kami kisahnya tak ubahnya bualan orang gila yang mustahil diyakini rasionalitasnya.
“Yang tertinggal dari kakek-kakek kalian hanyalah penyesalan seumur hidupnya. Penyesalan yang juga menyiksaku tiap detik. Itulah kenapa mereka sering menyendiri bersama kenangan mereka. Kami terlalu takut mengungkapkan kesalahan yang kami perbuat terhadap hidup kalian saat ini. Mungkin inilah kenapa Sang Hyang Widi Wasa tidak mengizinkan kami mati. Ini adalah hukuman atas dosa kami pada semesta alam. Tapi yang paling tak termaafkan adalah ulah kami melenyapkan pohon-pohon rindang hingga hanya menyisakan kaktus di muka bumi. Tak ada tanaman lain yang mampu bertahan di tanah tandus seperti saat ini.” Romo Turjan merapatkan sarungnya ke badan.
Pengakuan Romo Turjan membuat kami lebih terbelalak. Kami harus mencerna semuanya dengan kapasitas otak kami yang masih terbatas. Sedangkan ketika kami telah mampu memahami persoalan ini, satu-satunya yang muncul adalah amarah. Kulihat Samin mengepalkan tangannya diam-diam di balik kain sarungnya. Alam begitu murah hati waktu itu. Tapi manusia malah memeranginya? Aku dan Samin tidak mengerti apa yang manusia pikirkan saat itu. Samin hampir mencolok satu-satunya mata Romo Turjan jika saja ia tidak tiba-tiba melengking dan mendelik dengan tatapan kosong.
Kami langsung berlari tunggang langgang. “Kali ini ia benar kesurupan, Rung!” teriak Samin sambil mempercepat langkahnya menyusulku. Sarung di pundak kami berkibar-kibar melawan angin.
Di serambi rumah, Mbah Dar dan Mbah Tukim, kakek Samin, duduk berhadapan di atas kursi beton dengan raut serius. Pengakuan Romo Turjan masih mengiang di telinga kami begitu jelas. Kakek-kakek kami adalah saksi hidup ratusan tahun silam ketika bumi diracun paksa oleh tangan-tangan mereka sendiri hingga sekarat seperti sekarang.
“Kek... kau apakan bumiku...?” ratap Samin dan aku. Kami bergelinjangan di pelataran yang hanya ditumbuhi pasir dan kerikil.
“Aku mau bumiku seperti dulu...!” rengekku keras-keras.
“Aku mau main di air terjun...!” teriak Samin tak kalah keras.
Kedua pria renta di depan kami berdiri seketika. “Kalian tahu dari mana semua itu?” todong kakekku.
“Romo Turjan sudah cerita semuanya pada kami!”
Mereka lantas menghampiri kami dengan tergopoh-gopoh seraya bersungkur dengan mengucapkan maaf berulang kali. “Kami salah pada kalian, Cu, kami berdosa....”
Lalu, bagaimana kita mengembalikan bumi seperti semula? Apa masih ada arti untuk pelestarian alam jika alam saja sudah tak pantas disebut sebagai alam? Apa lagi yang mampu dilakukan oleh manusia jika sudah sampai pada penyesalan?
Suara kaki yang terseok-seok di belakang kami meredakan keributan yang kami buat. Romo Turjan sedang berjalan tertatih menghampiri kami. Satu tangannya menggenggam. “Berhenti kalian, berhenti!” perintahnya.
“Kita memang tidak boleh berharap terlalu tinggi. Tapi setidaknya kita harus mencoba.” Dari jarak beberapa langkah di depan kami, tangannya yang mengepal tadi membuka. “Aku masih punya ini,” ujarnya sambil menyodorkan benda yang tadi ia perlihatkan pada kami.

Kami tidak berharap bahwa bumi bisa kembali seperti sedia kala. Namun usaha kami untuk menanam benih padi yang tersisa adalah sebuah usaha untuk menumbuhkan harapan. Aku tak sanggup mendeskripsikan ekspresi kami sesuku Tengger ketika melihat benih itu akhirnya menjelma pucuk daun yang hijau kekuningan. Dosa kakek kami adalah kami juga yang menanggung. Kami hanya berharap bahwa dosa itu tak terulang di kemudian hari.
Malang, 26 Maret 2016
Cerpen ini pernah dilombakan dalam ajang
Pekan Seni Mahasiswa Univesitas Brawijaya
dan mendapatkan penghargaan pertama

You Might Also Like

1 komentar

Popular Posts

His Rhyme

His Rhyme
gave me the strength