Membeku

October 13, 2015

Aku bertemu dengannya sekitar tujuh tahun sejak cerita ini kutuliskan. Waktu itu adalah ketika Pekan Olahraga dan Seni yang dihadiri oleh delegasi-delegasi setiap sekolah. Aku sudah tertarik padanya, tapi tidak seyakin bahwa suatu hari kami akan saling mengungkapkan perasaan. Waktu itu, aku hanya sekedar tahu. Bahwa dia adalah sosok periang yang mampu membius orang-orang di sekitarnya dengan tawanya yang renyah. Pekan olahraga berakhir, dan ingatan akan satu pertemuan mulai terganti oleh pertemuan-pertemuan yang lain.
Tapi semesta ternyata berkehendak lain. Kami bertemu lagi di jenjang sekolah berikutnya. Itu memberi kami nuansa dan warna yang berbeda. Entah ia ingat atau tidak padaku, atau bahkan selama ini aku sama seperti orang asing yang cukup lewat di hidupnya. Tapi waktu itu aku mengabaikan semua kenangan masa kecil. Aku memulai masa baru. Yang di dalamnya ada dia yang menghadiri momen-momen kecilku.
Warna demi warna melintasi ujung jalan kami. Tak seindah laju pelangi, tapi cukup bisa memberikan arti. Figurnya yang populer seantero sekolah kala itu membuatku segan meski hanya untuk bercuap. Dan kukira, dia juga tak begitu menaruh perhatian yang lebih padaku. Mungkin beban kenangan dari dimensi lampau masih membuntutinya. Dan ketertarikanku sebenarnya juga sebatas pada kekaguman akan kepribadiannya yang begitu khas dan berbeda dari pria lain yang pernah kukenal. Daya tariknya yang memesona.
Entah kebodohan apa yang merasukiku ketika itu hingga berani meminta nomor ponselnya pada temanku. Sebelas deret angka menatap balik ke arahku, seolah meronta ingin dipencet. Ulahku menuruti keinginannya menuntunku pada obrolan ringan hingga berat dengannya sepanjang hari. Mengirim getar-getar menggelitik dan terkadang mendobrak stabilitas hati. Topik-topik yang tak biasa, ketertarikan yang sama pada hal-hal unik, kesamaan selera, dan gurauan-gurauan yang kerap tak disadari oleh orang lain, mulai menghapus batas-batas keseganan. Mereka hadir untuk membantu dan aku baru sekarang sempat menghadiahi terima kasih. Dengan segala keterbatasan, mereka membuat kami menandatangani kepemilikan semesta atas nama kami berdua, termasuk kehangatan mentari.
Energi mengalir konstan selama beberapa tahun yang penuh nuansa. Lika-liku percintaan anak muda bagai lintasan jatuh bunga sakura di tengah terpaan angin September. Lurus, berputar, terhempas, meliuk tinggi, tapi bagaimanapun akan berakhir pada ketakberdayaan di hadapan gravitasi. Waktu itu kami masih muda, sama tak berdayanya dengan bunga sakura. Apa yang membuat kami bertahan berputar-putar di lintasan terpaan angin? Mengambang tanpa arah yang pasti? Kurasa karena sisa-sisa emosi yang masih bergelayut di tiang pancang penunjuk arah. Memberi tahu kami bahwa sejauh apa pun kami melangkah, hanya ada satu tanda panah yang menuntun.
Saat itu, bahkan perasaan untuk berpisah selintas pun tak pernah hadir dalam benakku. Keyakinanku masih kuat hingga sekarang. Meskipun aku satu-satunya pihak yang selalu berjalan membelakanginya. Pengkhianatan yang kulakukan padanya tak mungkin termaafkan. Rayuan sesaat telah menenggelamkanku pada kegelapan tak berujung yang kini masih menghantuiku. Perlahan, tanda panah di tiang pancang itu kurasakan bergeser dari arahnya semula. Kuakui, aku sendirilah yang membelokkannya. Mungkin karena naluri kewanitaanku yang selalu menentang rasa hambar dalam hubungan. Atau mungkin karena superego sepersekian detik yang membuncah. Tapi aku memang ingin meledak saat itu. Melepaskan semuanya. Tanpa pikir yang berbelit-belit lagi. Aku ingin memberontak dari tali transparan yang mengekang kami. Yang bahkan tidak kami sadari, hadir menjalin semakin kuat. Tapi apa yang hadir ketika kau menguatkan genggaman pada pasir? Dengan cara apa pun, dia akan melepaskan diri. Itulah yang terjadi pada diriku, pada hubungan kami.
Betapa tragis memenuhi masa depanmu dengan masa lalu. Jangan pernah mencobanya, bahkan untuk sekedar mencicip. Langkah masa lalu akan selalu menemanimu, sesering apa pun kau meneguhkan hati untuk beranjak ke masa depan dan melupakan, sebanyak apa pun frekuensimu mengucapkan ‘Aku merelakan dan melepaskannya’. Lilitan dari masa lalu hanya akan terus semakin menjerat setiap kebebasan. Terus mengulang keputusan bodoh di masa lampau. Kuanugerahkan selamat pada usaha kerasmu yang mencoba berdiri kokoh tapi sebenarnya roboh.
Sesekali kami masih berhubungan melalui selular. Meski hanya dengan beberapa baris kata tak beresensi. Aku tak berani menyinggung-nyinggung masalah hati. Karena aku tahu, begitu aku menanyakannya, butuh pengorbanan untuk menunggu balasannya lebih lama dari yang sudah-sudah. Belum lagi menunggu suasana hatinya untuk tergerak mengetik balasan. Dibutuhkan puluhan hari untuk mengembalikan suasana hatinya ke titik awal begitu aku mulai mengungkit masa lalu. Dan kondisi itulah yang selalu menahanku untuk tak mencobanya lagi. Akan ada banyak yang dipertaruhkan. Dan sebersit pun, aku tak akan pernah memenangkannya.

Sekuat apa pun aku berusaha, dia tak ingin kembali. Dan tak ingin aku kembali. “Time changes everything,” suatu hari dia pernah berkata. Sejak saat itu, aku sadar bahwa kehangatan mentari tak akan pernah lagi berpihak pada kami. Sinar mentari telah membeku dalam dunia kami. Dan terbelenggu masa lalu. Walaupun, aku bisa tersenyum melihat dia menemukan kebahagiaannya, di mana pun dia berada sekarang. Aku mulai sanggup membayangkannya bersanding dengan orang lain dan aku masih memberinya selamat. Terima kasih telah membuatku pernah merasa dicintai. 

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

His Rhyme

His Rhyme
gave me the strength