Menjadi Pen-DIANNS

September 06, 2015


Di sini aku menemukan atapku, tempat bernaung. Di sini aku menemukan dindingku, tempat berlindung. Di sini aku menemukan lantai, tempatku berpijak. Di sini aku menemukan rumah, sebuah keluarga. Di sini DIANNS. Ia menerimaku, menjadi rumah dan keluargaku.


DIANNS menjadi akrab di telinga ketika aku mulai memasuki kampus abu-abu berlabel FIA ini. Karena ia satu-satunya lembaga jurnalistik yang ada di fakultas. Megungkit jurnalistik, sebuah anjuran mirip perintah dari kakak laki-lakiku (aku memanggilnya Mas; panggilan untuk kakak laki-laki di Jawa) langsung terngiang di telingaku. “Begitu kamu kuliah, kamu harus ikut koran kampus,” ujarnya. Celetukan singkat lain bernada saran yang keluar dari mulut kakakku dari banyak celetukan yang selalu melekat di memori otakku. Dan itulah yang dimaksud kakakku dengan koran kampus; DIANNS. Di sini dia disebut Lembaga Pers Mahasiswa. Disingkat, LPM DIANNS. Dipanjangkan, LPM DIANNS FIA UB.

Nama DIANNS semakin akrab terdengar ketika dia mulai membuat ulah pada awal masa ospek fakultas, di saat LOF (Lembaga Otonomi Fakultas) lainnya justru berusaha meningkatkan citra baik mereka di depan mahasiswa baru. Ketika semua LOF beratraksi di panggung Samba (Sambut Maba) dalam rangka menyambut maba, DIANNS menjadi satu-satunya LOF yang absen. Padahal dialah satu LOF yang atraksinya aku nantikan. Sembari nyengir, pikirku waktu itu, “Sinting. LOF sinting. Lembaga macam apa dia sampai berani melawan aturan.” Dan saat itu juga, niatku untuk bergabung dengan DIANNS semakin kukuh.

Awalnya aku tidak seheran dan setakjub ini. Awalnya, DIANNS dalam bayanganku adalah sama seperti LOF-LOF yang sempat aku masuki untuk kudaftarkan namaku sebagai anggota. Mereka akan ramah menyambutku, menyuruhku masuk ruang sekretariat dengan senyum dilebar-lebarkan yang kadang membuatku muak, bertanya ini itu tentang diriku, dan melayaniku bak ratu yang baru menjabat. Tapi ternyata DIANNS tidak. Ingin kumaki-maki dia waktu itu ketika kali pertama aku mengunjungi mereka untuk menanyakan prosedur pendaftaran anggota baru. Alih-alih disapa dan dipersilakan masuk, aku dibiarkan mematung di depan pintu sebelum kuulangi salam dan tujuanku. Dari sekian banyak orang yang ada di sana, hanya dua atau tiga orang yang menanggapiku. Dan hanya satu orang yang menghampiri serta menanyakan keperluanku. Tanpa basa-basi seperti beberapa lembaga fakultas yang aku kunjungi, dia malah menjelaskan alur penerimaan anggota langsung ke intinya. Setelah itu, berakhir. Aku pulang. Tanpa pertanyaan terlontar, tanpa jawaban yang harus kujawab. Aku hanya harus kembali dengan formulir yang sudah diisi dan sebuah karya ilustrasi. Yang terlintas dalam benakku waktu itu hanya umpatan yang ingin aku teriakkan di depan mereka, “Sialan! Wooii... aku mahasiswa baru...! Aku harusnya dilayani seolah kalian butuh aku kan...?!” Tapi antusiasme yang tiba-tiba menurun hanya bisa aku telan dengan mengisi pertanyaan-pertanyaan intimidatif dan menggoreskan mangsi berbentuk wajah beludet di atas selembar kertas HVS folio putih. Tahu-tahu, aku sudah menjadi bagian dari DIANNS.

DIANNS seperti langit, menaungi tanpa pandang bulu. DIANNS seperti laut, menampung segala sesuatu yang tercebur ke dalamnya. Di sini aku bisa menjadi apa pun. Karena DIANNS menerima segala bentuk yang masih ataupun telah terbentuk di sini. Langit dan laut yang merentangkan lengannya lebar-lebar bagi segala macam bentuk ekspresi. Mungkin memang ada banyak langit dan laut. Tapi DIANNS adalah langit yang lebih biru, lebih teduh, laut yang lebih sejuk, lebih dalam, lebih berombak dengan pantai yang lebih berkarang terjal.
Sebelum melangkahi ambang pintu yang akan membawaku lebih jauh ke dalam dunia DIANNS, aku tahu ini takkan mudah. Yang kumaksud bukanlah pelatihan-pelatihan jurnalistik itu, tapi setelahnya, ketika aku telah benar-benar menyandang logo putih bergelombang itu di lengan kiriku. Aku sudah sedikit berprasangka, ini tidak hanya sekedar tentang mengoceh dengan bahasa inggris setiap hari atau menulis karangan ilmiah tebal. Ini tentang mengubah cara berpikir, jenis bacaan, bagaimana melihat dunia, berhubungan sosial, berkata-kata, bernegosiasi, berdialektika, bergelut dengan semua hal. Ini tentang ber-DIANNS. Dan semua prasangkaku menemukan kebenaran begitu aku berkumpul bersama mereka, para Pen-DIANNS ini dan semua yang berdiri mengelilingi mereka dengan tangan kiri terangkat. Persis seperti yang pernah kudengar dari salah seorang manusia DIANNS, “Menjadi anak DIANNS berarti siap memiliki banyak teman, juga banyak musuh.”

Tidak semua orang menyukai pemberontak. Tapi tidak semua orang juga menyukai kerbau yang dicocok di hidung. Aku menyadari bahwa jauh di dalam hatiku, aku adalah tipe nomor dua. Aku benci aturan yang mengikat, aku benci didikte. Aku menyukai perlawanan dan pemberontakan. Terlebih pada para birokrat busuk yang duduk mengangkangi ubun-ubun rakyat. Aku merinding bila mendengar gerakan demonstrasi besar-besaran oleh ratusan ribu mahasiswa pada ’98. Aku mengutuk Soeharto dan kroni-kroninya. Ketika yang lain heboh mengagumi sosok Soekarno dalam filmnya yang meledak di bioskop pun, tak secuil pun aku terpengaruh. Ada sepotong kecil kebencian dalam diriku pada sosok presiden pertama bangsa ini atas apa yang tak didokumentasikan dalam buku sejarah yang beredar di sekolah-sekolah. Mungkin sejak kecil, memang ada petasan mungil yang meletup-letup pelan dalam diriku. Maka kutanamkan harapanku pada lembaga pers mahasiswa ini bahwa ia mampu memenuhi gejolak perlawanan yang ada dalam diriku itu.



Memang, dari tembok bertulis “Dapur Redaksi” dan poster Kode Etik Jurnalistik yang terpampang dekat ambang pintu, ditambah ratusan buku yang berderet dalam rak, siapa pun akan merasakan aura membosankan yang menyelimuti penghuni di dalamnya. Banyak celetukan miring bahkan dari teman-temanku sendiri yang mengatakan, “Ih, anak DIANNS pasti serius-serius, nggak bisa diajak becanda gitu” atau pertanyaan aneh yang sempat terlontar pada rekan DIANNS-ku, “Eh, kok kamu mau sih masuk DIANNS? Kan mereka tulisannya pedes, suka ngritik gitu”. Ingin sekali kulongokkan kepala mereka melalui lubang apa pun di DIANNS supaya mereka menghentikan sarkasme-sarkasme tak beralasan mereka, atau menyadap ruangan DIANNS agar mereka mendengar kenyataan yang sebenarnya. Bahwa di balik pintu penuh stiker rupa-rupa warna dan jenisnya itu, ada gelak tawa yang membangkitkan hasrat hidup. Ada kehidupan yang tak bisa dimengerti oleh setiap muggles (v aku penggemar Harry Potter). Tentu saja kehidupan yang kumaksud bukan hanya tawa. Kadang tangis, kadang amarah, kadang sarkasme, kadang cinta, meskipun sering dialektika. Mereka yang bertindak sebagai hakim atas kehidupan itu akan selalu tegak lurus dengan DIANNS. Mereka yang tak mengerti tentang “Aku nggak akan mampu lanjut kuliah kalau dulu aku nggak masuk DIANNS”.

Lucunya, DIANNS membutuhkan orang-orang penghakim seperti mereka. Keberadaan para haters-lah yang memacu DIANNS untuk terus beraksi. Alih-alih frustasi karena ditentang, dibenci, dimusuhi, DIANNS justru akan merasa didukung dan dicintai. Apa lagi yang lebih menyenangkan dari dikecam, diberedel, dan dibekukan atas pemberitaan yang radikal? Mengetahui reaksi massa terhadap framing berita yang kami tulis adalah euforia tersendiri. Sikap antipati atau simpati mereka terhadap berita kami akan semakin menggiring kami pada titik pencerahan keberpihakan massa. Dari situ, kami dapat menganalisis kondisi yang sebenarnya terjadi dalam masyarakat. Opini, keapatisan, pola pikir, tujuan, strategi, penyimpangan, apa pun itu. Entah tolol atau apa, tapi mereka semua justru memberikan kami alasan untuk tetap menulis, mempertahankan keberadaan DIANNS.

Peristiwa demi peristiwa, tragedi demi tragedi, euforia demi euforia itu terekam di dalam Blackbook. Buku keramat yang menampung segala jenis goresan tangan petualang-petualang DIANNS. Aku sendiri tak tahu mengapa dinamakan Blackbook, padahal sampul Balckbook milik tahun angkatanku warnanya belewah. Jadi aku yakin itu bukan karena warna sampul. Mungkin nama itu berasal dari Blackbox yang berfungsi mencatat setiap kejadian dalam pesawat. Diplesetkan menjadi Blackbook karena ia juga berfungsi merekam setiap jejak pena yang ditorehkan oleh DIANNS.

Terlepas dari semua kejadian besar yang menimpa DIANNS (dibubarkan paksa oleh Dekanat di tengah pemutaran film misalnya), DIANNS bukan tempat para intelektualis berkumpul. Bukan pula tempat para orator, pemikir, filosof, atau pengamat politik yang keranjingan berdiskusi dengan debat kusir tak berujung. DIANNS hanya kumpulan orang yang haus akut untuk belajar. Berpetualang sambil mencari pemicu desiran darah dalam nadi. Menerima segala hal baru namun dengan tingkat skeptis tinggi. Mengkritik setiap jenis kebobrokan yang mengusik ketenangan. Merangkul seluruh lapisan makhluk yang berbagi hidup. Asal jangan kalian halangi saja jalan mereka untuk mencapai apa yang mereka perjuangkan. Mencuri, merampas, menyabotase, menguasai hak yang bukan milik kalian adalah beberapa bentuk “menghalangi jalan”. Jika sudah demikian, bersiaplah menghadapi kami, para Pen-DIANNS.

Kebetulan, bulan ini kami sedang menunggu dan mencari lusinan pasukan baru DIANNS. Kami mencari benih-benih radikal yang berpikiran terbuka terhadap berbagai hal. Berkomitmen, berani bersuara, menentang setiap bentuk ketidakadilan, berhasrat tinggi untuk belajar, dan bersedia berdiri bersama DIANNS. Yang kalian butuhkan hanya sebuah nyali untuk melewati ambang pintu DIANNS. Membuang jauh-jauh rasa segan, ketakutan, dan rasa malu. Kalian hanya perlu melebur, menerima dan diterima. Apa pun bentuk kalian, DIANNS akan memeluk. Asal kalian bersedia dipeluk. Hanya dengan begitu kita akan bisa mencium bau keringat masing-masing yang bercerita tentang serunya menjadi Pen-DIANNS.

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

His Rhyme

His Rhyme
gave me the strength