Selain merawat hati. Tapi segala yang kupelajari
darimu adalah tentang merawat hati. Merawat hati, usaha untuk selalu
mengingat nurani. Bahwa manusialah saja yang bersifat insani.
Sebabnya, darimu aku belajar untuk berbagi. Berbagi
yang tidak menuntut balas serupa apalagi lebih. Dengan siapa
pun, sekecil apa pun hal yang kubagikan. Menghargai setiap unsur yang ada di
semesta. Bahwasanya aku belajar untuk berada dalam kulit orang lain,
memosisikan diri dalam perspektif orang lain, adalah kudapat dari
obrolan-obrolan kecil kita di jalan, di warung kopi, di alun-alun, di
emperan toko, di atas motormu, di mana-mana. Atau komentar-komentar
kecilmu tentang orang-orang yang kita temui, juga di mana-mana. Beberapa
kali dari sanggahan langsungmu terhadap argumen-argumenku. Tak ada
penghakiman, menjadi manusia lain mungkin lebih sulit, aku sepakat.
Ada hari-hari ketika kita justru lebih banyak
membicarakan orang lain, hal-hal lain, ketimbang tentang berdua. Kalau sudah
begitu, aku akan siap-siap mendengarkanmu, menyusun opini berbeda atau menirumu
saja, atau menganulir dengan lelucon murahan yang kerap kamu susul dengan tawa.
Atau aku hanya mengangguk-angguk, terdiam, dan tersenyam-senyum menatap matamu.
Pada saat tertentu, aku harus menepuk kesadaran, menyuruhmu mengulangi kembali
paragrafmu, sebab matamu terlalu mendistraksi.
Darimu yang penikmat sastra, aku belajar untuk
lebih berhati-hati memilih diksi. ‘Harus’, salah satunya yang paling kuingat.
Sebab diksi ‘harus’ dekat dengan keterpaksaan. Kamu tak suka itu. ‘Aku tidak
butuh harus’, katamu. Baiklah, aku mengerti. Kalau tidak mau, ya bilang tidak
mau. Jangan terpaksa dengan kata ‘harus’. Itu yang coba kau sampaikan kepadaku,
bukan? Tapi kamu tahu, segala yang tentangmu, aku enggan terpaksa, meski jika
itu berarti aku perlu lebih belajar merelakan.
Juga darimu, aku belajar untuk menemukan tujuan hidup,
lantaran aku tak punya, selain untuk kedua orangtua. Setelahnya, aku tak tahu
mau apa. Sedang kamu punya begitu banyak mimpi untuk diwujudkan. Aku adalah
seorang pengikut alur dalam hidup. Kamu bisa memimpin, setidaknya diri
sendiri. Orang lain, entahlah, jika kamu mau. Kamu luar biasa kalau tekadmu
sudah bulat. Pengalaman hidup menempamu. Kamu tahu tujuanmu,
meski tak selalu paham betul cara sampai ke sana. Hanya saja,
akhir-akhir ini kamu jadi malas untuk hal-hal yang kamu rasa sudah cukup.
Kuliah memang menjenuhkan, aku tahu.
Darimu aku belajar untuk menertawakan segala sesuatu.
Bagiku, hidup sudah terlalu lucu. Tapi denganmu, aku semakin menertawakannya.
Pada setiap seberat dan seserius apapun persoalan, sisi lucu itu selalu ada.
Maka kita selalu menyelipkan tawa, bahkan jika pun tak ada yang perlu
ditertawakan. Tidak ada yang bertahan selamanya, kenapa menyiksa diri dengan sesuatu
yang nanti juga akan berlalu, begitu kan?
Tentu saja, tidak setiap hari kita tertawa. Ada saat
aku lebih memilih diam, alih-alih tertawa atau protes. Diam yang kemudian
menjangkitimu juga. Kita berdua lupa, betapa mudahnya ingat untuk saling mencinta,
jika saja kita lebih memilih tertawa. Diam hanya mengarah pada penyiksaan.
‘Kamu tersiksa?’ suatu hari kamu pernah bertanya. Ketika kita saling
memberhentikan kata-kata, segala penyiksaan akan mulai bekerja. Padaku, paling
tidak.
Darimu, aku belajar banyak hal untuk kulakukan. Ada juga hal yang
kupelajari darimu, tapi untuk sebisa mungkin tidak kulakukan. Seperti
misalnya, menyangkal semua yang kutuliskan tentangmu.
Sebab 'Aku tak sebaik itu', kemungkinan ujarmu. Tak ada yang sebaik apapun,
Sayang.
Kamu dan aku mengerti hukumnya, tidak ada ciptaan yang berhak
atas sebuah kesempurnaan. Bahkan kata 'sempurna' itupun bisa jadi jauh dari
sempurna. Kamu mengajariku berpikir seluas cakrawala. Untuk menjadi perempuanmu
yang baka, aku masih berdoa. Bahwa kamu tidak akan menuju arah berbeda
ketika suatu saat, ketidaksempurnaanku menyakitimu. Ketika sebuah maaf tak
lagi bisa menyembuh. Ketika waktu semakin membawa luka baru. Aku masih berdoa.
Ketika kamu lupa bahwa darimu pun, aku belajar memaafkan.