Tentang Kota yang Kau Tanyakan
April 08, 2019Sore yang mencabik emosi. Kamu bertanya tentang kampung halaman, rumahku. Sejurus diam aku menyusun paragraf. Tak tersusun. Dua cangkir kopi menertawaiku, termasuk kamu. Emosiku baik-baik saja sebelum kamu bertanya. Kenapa harus rumah? Kota dan rumah memaksaku memutar memori pada kenangan yang membuncahkan kembali luka. Kenapa aku tak bisa menceritaimu tentang keduanya. Bisa jadi lantaran aku mulai membenci tempat kelahiran, kamu tahu aku paling susah jika menyangkut pulang. Hatiku berhenti mencintai kota itu sejak kukemasi barang-barangku ke tempat baru, lalu lagi tempat baru. Dua terakhir bukan rumah, hanya tempat singgah untuk terlelap. Sejak itu, aku merasa tak lagi punya rumah. Aku benci setiap kali pulang. Kota dingin sialan ini mulai menjadi pelarian. Aku tak bisa mencintai kotaku seperti kamu mencintai kotamu.
Atau karena memang aku tak pernah bisa menceritakan segala yang tentangku. Kamu seharusnya tahu bahwa jika tentangku, aku selalu merasa tak ada yang menarik. Aku akan lebih memilih berbicara panjang lebar tentang sejarah kotamu ketimbang mengarang kisah tentang kota kelahiran. Tak ada yang menarik yang bisa kamu dengarkan sambil menikmati sore kotamu, kecuali masa kecilku yang kuhabiskan berlarian dengan sekelompok bocah lelaki di sawah belakang rumah. Selepasnya, kampung halaman bagiku tak lebih dari tempat bertemu ibu dan ayah. Seperti teman sekelas yang saling menyapa seperlunya, aku dan kotaku tak begitu akrab.
Mungkin juga sebab aku pernah tak terlalu peduli dengan seluk kota. Kota kecil yang mulai mabuk pada hiruk-pikuk. Ia hanya membesarkanku, sedang aku tidak tumbuh secara utuh. Hanya mengukir luka pada belia.
Aku tak bisa menceritakan itu semua padamu tanpa sesengguk. Dan aku tak mau semakin memendungkan sore yang sudah mendung. Jangan lagi bertanya. Jika ingin bercerita, aku akan bercerita. Atau kamu bisa bertanya, akan kujawab pakai kata-kata wikipedia. Sehingga kita tak perlu menjadi aku dan kotaku yang tak saling menyapa?
0 komentar