Photograph: Rethiya Pertama kali buku ini hadir di mataku, adalah sejak kakakku mencomotnya dari perpustakaan kampusnya di Surabaya dan ditangkringkan di rumah. Itu sudah sekitar 8 tahun lalu. Tidak ada yang berkesan dalam indra, selain peringatan samar kakakku “Ini novel dewasa, jangan dibaca”. Hingga 3 tahun terakhir aku berkenalan ‘lagi’ dengan Ayu Utami lewat karyanya, Saman. Sejujurnya aku tertarik padanya lantaran sempat kubaca...
Sosok-sosok mengabur Sosok-sosok mengabut Sosok-sosok mengabul Rabun Genta getik pada sirna gantung Kertas Logam Gulali Sosok-sosok mengasap lalang Sumbang Dingin jembatan hangat neon Tusuk hujan Sumbang Lalang Lalu Logam Kertas Gulali Terima kasih Kain robek menghalau malam Kain lusuh menghalau peluh Sumbang Genta getik kempyeng Sumbang Sumbang Ia minta sumbang Perutnya yang sumbang ...
Apabila itu Ayah, aku tak mau lagi tahu. Karena semenjak ibu jadi ayah, bagiku ayah sudah tak lagi punya jenis kelamin. Atau kelamin. Sejak itu dari ayah padaku, telah bercokol benih mengkal yang bertunas amarah. Akarnya kokoh menunjam relung kebencianku yang mendidih. Tumbuh dari daunnya suluh yang berkobar serupa bunga api. Ranting-rantingnya bekertak menyulutkan percik dendam berabad lamanya. Kini ia jadi bara yang...
Citra dihadirkan dari masa ke masa untuk terus menembus setiap batas cakrawala. Dalam sebuah citra tak hanya ada mata. Melainkan gerak alam. Rupa, suara, rasa, aroma, makna. Semua melesap ke dalam pori sukma raga. Merasai alam dan mereguk semilirnya adalah aktivitas menikmati sasmita dengan seluruh indera. Berseni adalah berekspresi tanpa batas. Ketakterbatasan itu dihadirkan oleh alam, jagat, raya. Hingga batas berekspresi adalah batas...
Kau mengenalku di sudut jalan. Aku mengenalmu sebagai lelaki yang datang. Kau tidak takut pada gelap yang kutawarkan. Baik sekali kau. Hati-hati, merengkuh semua bekas luka. Telah lama. Kubiarkan kita tertawa di saling seberang jalan. Lelaki yang kujaga sebatas bawah lampu sudut kota. Itu kau, hati yang kuwaspadai agar tak tergelincir jatuh. Karena jika ya, aku tahu sepasti waktu, tenggelam di sana tak...
Adalah kata ‘pulang’ yang mempertemukanmu kembali dengan pintu rumah dan segala hal yang ada di dalam bangunan lawas itu. Terutama, tujuanmu mengubah kata kerja ‘pulang’ menjadi kalimat aktif intransitif karena kau tambah dengan subjek ‘Aku’ adalah karena kerinduanmu pada subjek-subjek lain yang ada di dalam rumahmu. Keluarga, kau menyebutnya. Dan ‘pulang’ adalah verba yang lebih kompleks. Karena ia juga mengandung makna asal. ‘Kau...
Bawa aku di satu masa ketika aku bisa berbaring di atas padang rumput dengan cahaya hangat matahari menyirami pori. Semilir angin yang sayup meredupkan kelopak mata sembari jangkrik-jangkrik kecil berlompatan di atas rambut. Domba-domba menyantap sarapan dan kaki penggembala menggilas sisa-sisa embun dengan kakinya. Bawalah aku ke masa itu lagi. Kek Dar menghirup napasnya dalam-dalam dengan mata terpejam. Ia mulai sering melakukan aktivitas...
Hari ini 8 panggilan tertera dalam layar ponselku yang tak terjawab karena tak sengaja terperangkap dalam tas. Tersangka paling kuat sejauh ini yang tahan untuk memencet tombol panggil meski sering terabaikan, hanya orang-orang dari rumah. Ibuku, berada pada daftar teratas.
Benarlah, panggilan itu berasal dari suara yang sering tak kusadari, kurindukan.
Ternyata malam ini bukan malam antara anak dan Ibu tentang keluh, peluh atau hal-hal yang membuatku luluh. Untunglah mulut ibu tak tergugu malam ini. Setidaknya ada seminggu untukku tak terlalu terganggu.
Malam ini malam dialog singkat antara anak dan ayah yang sungguh mengusik. Bukan karena kami biasa asyik. Tapi cukup membuat nuraniku berisik.
"Gimana?" kata tanya yang selalu dilontarkan ayah di baris pertama sapaan panggilannya.
"Apanya Yah yang gimana?" ini juga yang selalu kugunakan sebagai balasan.
Kemudian ayah tak akan menjawab. Karena aku akan selalu tahu maksud prolog pertanyaannya.
"Ayah nggak pa-pa bulan ini jadinya ngirim lebih?" maksudku uang bulanan, tentu saja.
"Ya gak pa-pa. Besok ayah transfer. Minggu depan juga, kalau bisa."
Ayah....
Kenapa aku harus bertransaksi dengannya?
"Beneran Yah, gak pa-pa?" kembali kutanya dia. Hanya sekadar untuk mengisi jeda di antara keheningan.
Lalu basa-basi, aku tanyai kabarnya. Basa-basi juga, ia jawab sekenanya.
Jadi hanya itu intinya? Malam ini aku hanya bertransaksi dengan ayah.
Meminta uang. Mengeruk peluh untuk dihadiahkan padaku.
Memastikan kebutuhan di rumah tetap akan terpenuhi meski jatahnya sudah kuserobot. Memaksa menenangkan diri di balik pernyataan "baik-baik saja" dari ayah, meski kutahu yang terjadi adalah sebaliknya.
Semoga tak kudengar samar-samar sesengguk ibu dari seberang punggung ayah.
Transaksi konyol yang kami pertahankan tiga tahun ini.
Paling tidak dia bisa berpesan, "Jangan terlalu buang-buang duit di rantauan" Atau "Bulan ini Ayah nggak bisa transfer".
Lalu aku bisa bilang, "Iya yah, gak pa-pa. Maaf selalu ngerepotin Ayah".
Tapi prinsip ayah diperparah dengan kesombongan untuk tak merobohkan benteng pertahananku. Agar tak pernah terlihat lemah di mata anak-anaknya.
Hubungan kita tidak sekonyol ini kan, Yah?
Benarlah, panggilan itu berasal dari suara yang sering tak kusadari, kurindukan.
Ternyata malam ini bukan malam antara anak dan Ibu tentang keluh, peluh atau hal-hal yang membuatku luluh. Untunglah mulut ibu tak tergugu malam ini. Setidaknya ada seminggu untukku tak terlalu terganggu.
Malam ini malam dialog singkat antara anak dan ayah yang sungguh mengusik. Bukan karena kami biasa asyik. Tapi cukup membuat nuraniku berisik.
"Gimana?" kata tanya yang selalu dilontarkan ayah di baris pertama sapaan panggilannya.
"Apanya Yah yang gimana?" ini juga yang selalu kugunakan sebagai balasan.
Kemudian ayah tak akan menjawab. Karena aku akan selalu tahu maksud prolog pertanyaannya.
"Ayah nggak pa-pa bulan ini jadinya ngirim lebih?" maksudku uang bulanan, tentu saja.
"Ya gak pa-pa. Besok ayah transfer. Minggu depan juga, kalau bisa."
Ayah....
Kenapa aku harus bertransaksi dengannya?
"Beneran Yah, gak pa-pa?" kembali kutanya dia. Hanya sekadar untuk mengisi jeda di antara keheningan.
Lalu basa-basi, aku tanyai kabarnya. Basa-basi juga, ia jawab sekenanya.
Jadi hanya itu intinya? Malam ini aku hanya bertransaksi dengan ayah.
Meminta uang. Mengeruk peluh untuk dihadiahkan padaku.
Memastikan kebutuhan di rumah tetap akan terpenuhi meski jatahnya sudah kuserobot. Memaksa menenangkan diri di balik pernyataan "baik-baik saja" dari ayah, meski kutahu yang terjadi adalah sebaliknya.
Semoga tak kudengar samar-samar sesengguk ibu dari seberang punggung ayah.
Transaksi konyol yang kami pertahankan tiga tahun ini.
Paling tidak dia bisa berpesan, "Jangan terlalu buang-buang duit di rantauan" Atau "Bulan ini Ayah nggak bisa transfer".
Lalu aku bisa bilang, "Iya yah, gak pa-pa. Maaf selalu ngerepotin Ayah".
Tapi prinsip ayah diperparah dengan kesombongan untuk tak merobohkan benteng pertahananku. Agar tak pernah terlihat lemah di mata anak-anaknya.
Hubungan kita tidak sekonyol ini kan, Yah?
Teman-teman cewekmu pasti juga banyak yang pecinta kopi, toh? Enggak. Cuma kamu. Aku tertawa. Lantas, mereka suka apa? Rokok? Gincu. Dan bedak tebal. Tapi kau betah bersama mereka. Tidak sebetah ketika bersamamu. Ah. Petualang sepertimu mana tertarik dengan kutu buku seperti aku. Kau juga petualang. Dengan buku-bukumu. Oh, ayolah. Apa serunya duduk-duduk sambil mantengin huruf, dibanding dengan menantang hujan dan mentari. Merasakan angin...
source: chriscrawfordphoto.com Hidup hanya berspekulasi Ketika bangku kursi kuliah tak lagi jadi dudukan Doa hanya rangkaian kata tanpa makna Hidup hanya berspekulasi Kau tak bisa selamanya menggantung luka Mencipratinya dengan garam hanya usaha tanpa cita Rahasia jatuh dan semua seperti telanjang di ruang tamu Termangu melucuti malu Aku mendengar khotbah Ayah di balik ubannya yang kehitaman Pagi ini kedok tertumpah tua Beban hidup pada...