Teriakan “Help!” Candi Bangkal
July 01, 2013
Pernah mendengar kata “komplit”, “eksotis”, dan “kaya”? Agaknya tiga
kata inilah yang paling laik disandingkan dengan kata “Mojokerto”. Hasilnya,
Mojokerto komplit, eksotis, dan kaya. Komplit, Mojokerto adalah kota dengan
berjibun adat dan budaya. Mulai dari kuliner yang memamerkan wijen di sekujur
adonan bulat hingga situs-situs bersejarah warisan Majapahit. Lalu dengan
beragam mitos seperti cerita Bajul Putih di Brantas, kemistisan bantengan,
dan pesona wisata alam di Pacet membuat Mojokerto begitu menggugah minat siapa
pun yang mendengarnya. Ada pun kekomplitan dan keeksotisan Mojokerto itu
menjadikan kota yang memiliki tujuh belas kecamatan ini kaya.
Menelanjangi kekayaan Kabupaten Mojokerto seperti tidak berujung. Karena ada begitu banyak kebudayaan, tradisi, kuliner, peninggalan bersejarah, dan lain-lain. Namun, yang menjadikan Mojokerto ini begitu masyhur adalah candi-candinya. Latar belakang bekas pusat Kerajaan Majapahitlah yang mewarnai seantero Mojokerto dengan bangunan candi. Kita bisa berceletuk “Candi Bajang Ratu, Candi Tikus, Candi Brahu, Candi Wringin Lawang,” dan sebagainya ketika ada perintah “Sebutkan candi-candi yang ada di Mojokerto!” Tidak salah alias benar. Sangat benar. Namun, bagaimana jika pertanyaan yang bernada menyuruh itu diralat menjadi “Sebutkan semua candi yang ada di Mojokerto!” Sulit, kan? Tentu saja, jika kita bukan pakar budaya Mojokerto. Sehingga sukar dalam memahami sejarahnya. Mengetahui semua nama candi di Mojokerto pun, tidak menjamin seseorang memahami sejarah candi-candi di Mojokerto.
Ada sekitar tiga puluh dua candi peninggalan Singasari dan Majapahit
yang letaknya tersebar di Jawa Timur. Sebagian dari nama candi-candi itu
mungkin familiar di telinga kita. Sebut saja Candi Bajang Ratu, Candi Tikus,
Candi Brahu, atau Candi Jedong. Tetapi bagaimana dengan nama-nama lain seperti
Candi Bangkal, Candi Simping, Candi Gayatri, Candi Cetho, Candi Tugu, Candi
Rimbi, Candi Kesimantenga, Candi Jawar, Candi Sawentar, atau Candi Naga?
Kurikulum mata pelajaran di beberapa SMP dan SMA mendapat tambahan satu
muatan lokal yang mempelajari seluk-beluk Mojokerto. Terutama pada sisi
pariwisata dan industri. “Mojokerto’s Tourism & Indutries” judulnya.
Buku ini berisi materi yang mengajak para siswa agar lebih mendekatkan diri
kepada kekayaan Kabupaten Mojokerto. Sayangnya, buku ini belum memuat nama
candi-candi yang ada di selain Trowulan. Meskipun membacanya dapat memperkaya
kita dengan pengetahuan seputar keanekaragaman Mojokerto, seperti wawasan tentang
candi-candi dan wisata-wisata megah di Mojokerto. Padahal, ada puluhan candi
yang belum tersentuh tangan pemerintah maupun kamera wisatawan. Candi Bangkal,
misalnya.
Sekitar tujuh atau delapan abad yang lalu, Raja Hayam Wuruk menitahkan
Bumi Majapahit untuk menambah satu lagi tempat suci. Bertempat di Desa
Kembangsari, Kecamatan Ngoro, Kabupaten Mojokerto, bangunan dengan panjang 10
m, lebar 6,25 m dan tinggi 10 m menghias area sawah di kawasan tersebut. Di
pintu masuk terpambang papan kayu bertuliskan “Candi Bangkal”. Ada sebuah jalan
dari semen yang menghubungkan pintu masuk dengan jalan desa. Tidak sulit
menemukan lokasi candi karena warna candi yang mencolok, merah batu bata. Meskipun
beberapa bagian seperti ukiran Kala di puncak candi, pondasi, dan undakan
tangganya terbuat dari batu andesit. Bentuknya
yang ramping menandakan kekhasan candi Jawa Timur. Berbeda dengan candi
di Jawa Tengah yang agak tambun. Ada arca banaspati yang masih menempel di
dindingnya. Total terdapat enam arca banaspati dengan tiga arca pada bagian
pintu masuk dan sebuah pada sisi lain masing-masing.
Yang membuat candi ini kontras dengan candi-candi di Trowulan pada
umumnya adalah kondisinya. Cuilan-cuilan di batu batanya, pondasinya yang
tergenang air, dan kerusakannya di sana-sini. Beberapa ekor kambing kerap
terlihat merumput di depan candi. Sarang tawon yang mendiami pintu masuk candi
pun turut ambil bagian. Menambah keengganan wisatawan untuk berkunjung. Tetapi
jangankan enggan, keberadaan Candi Bangkal pun masih tersembunyi dari jangkauan
visi masyarakat.
Beberapa sumber menyebutkan bahwa seorang mahasiwa UI (Universitas
Indonesia) sempat mengadakan penelitian tentang sejarah candi, namun yang ia
dapatkan hanya infrormasi tentang tujuan orisinal candi tersebut dibuat, yakni
sebagai tempat perabuan. Sehingga ia hanya dapat berasumsi dari gaya
arsitekturalnya.
Konon, pernah ada gempa yang merobohkan rumah penduduk sekitar, namun
bangunan yang berumur 650 tahun ini tetap setia berdiri kokoh. Tanpa keretakan
sedikit pun. Keistimewaan candi ini juga diindikasikan oleh bentuk denah yang
tidak biasa yaitu segi empat dan jumlah tangga ganda pada kaki candi yang
menyatu pada batunya. Hiasan kepala Kala pun terbilang istimewa. Jarang ada
andesit pada candi yang didominasi oleh batu bata sebagai bahan baku utama
pembuatan. Kita tidak dapat memandang candi ini dengan sebelah mata. Kesetiaan
Candi Bangkal untuk tetap berdiri tegak di Kabupaten Mojokerto telah menguatkan
karisma candi ini sendiri sebagai lambang kekuatan penduduk Ngoro.
Seusai masa panen, warga sekitar menggelar acara sedekah bumi di samping
candi yang berupa makam sesepuh. Acap kali acara tersebut dimeriahkan oleh pergelaran
wayang kulit. Acara ini berlangsung di sebelah utara candi.
Miris, menyaksikan kenyataan bahwa pemerintah setempat masih menempatkan
diskriminasi atas peninggalan kotanya sendiri. Menggugah keprihatinan, ketika
pemugaran Candi Brahu pada tahun 1990-1995 dilaksanakan, penelantaran
candi-candi seperti Candi Bangkal pun tengah dilakukan. Apa dasarnya? Apa
standarnya? Apakah karena candi-candi itu berada di Trowulan yang ramai
sehingga candi pinggiran tidak berhak mendapat sentuhan tangan ahli para perenovasi?
Revolusi di Bangkal tidak akan terjadi jika pemerintah enggan bergeming
dari ketidakacuhannya terhadap budaya lokal. Candi ini memang secara resmi telah
dinobatkan sebagai cagar budaya dan berada di bawah kendali BP3 (Balai
Pelestarian Peninggalan Purbakala). Namun, titik hanya sampai di situ.
Masyarakat sekitar mungkin hanya bisa mencegah kerusakan Candi Bangkal agar
tidak semakin parah. Namun tidak dapat meningkatkan kondisi dan pesona wisata
budaya Mojokerto ini. Masyarakat hanya sanggup mempertahankan, sedangkan urusan
pemugaran adalah tanggung jawab pemerintah.
Candi Bangkal sebenarnya berpotensi untuk menghasilkan kontribusi yang
besar bagi Kota Ngoro. Kawasan candi dapat dimanfaatkan sebagai lapangan
pekerjaan baru. Misalnya, memberlakukan tarif masuk candi bagi turis,
menempatkan petugas security, membangun pusat perbelanjaan oleh-oleh
Ngoro, dan menyediakan tempat refreshing di sekitar candi. Aset berharga
ini jika dikelola dengan baik dapat memberikan penghasilan tambahan warganya.
Di samping itu, juga akan menunjang pendapatan daerah.
Oleh karena itu, peran masyarakat selain merawat adalah memublikasikan candi-candi
yang dianggap terpinggir atau terpencil secara kontinu. Membiarkan masyarakat
mengenal candi-candi tersebut yang sejatinya adalah kearifan lokal Mojokerto.
Dengan demikian, Candi Bangkal dan candi-candi lain yang bernasib sama akan
dikenal masyarakat luas. Alih-alih mereka mau bergerak bersama-sama dalam
memperjuangkan situs lokal yang terasing ini. Perjuangan yang diharapkan dapat
mendesak pemerintah untuk memberi perhatian lebih pada candi-candi itu. Sehingga
tak ada lagi diskriminasi terhadap candi. Kearifan lokal Mojokerto tetap
lestari, bahkan semakin bertambah. Juga tak ada lagi teriakan minta tolong Candi
Bangkal untuk segera dipugar.
0 komentar