Membentur Bumi
December 20, 2012
Paving jalan setapak yang semula sangat jelas terlihat
olehku, kini mulai samar. Sudut-sudutnya yang berjumlah enam dengan sisi
teraturnya, tercerai ke mana-mana. Meliuk-liukkan bentuknya semenjak genangan
bening berdiam di pelupuk mataku. “Kita selesai aja Mar,” begitu katanya
beberapa detik yang lalu.
Mengangkat
kepala aku berkata dengan suara serak, “Wha, what?”
Ia mengangguk, “Sorry…”
Tapi aku menggeleng pelan, lalu “Tess..,” setitik air mendarat di pipiku. Bukan, itu bukan air mataku. Kutatap lurus Joe, kemudian ke hamparan biru yang mengubah dirinya menjadi abu-abu, langit.
Terjadi lagi, setelah kehadirannya
di hari perceraian orang tuaku dan meninggalnya ayah. Sejak itu aku sangat
membenci butiran bening yang meluncur dari permadani semu di atasku. Hingga aku
dijuluki cat woman oleh seluruh temanku. Dan hari ini hujan kembali hadir
menyaksikan akhir kisahku dengan Joe.
“Beri aku satu alasan,” kataku
ketika ia beranjak dari duduknya.
“Martha…,” ucapnya seraya berlutut
sambil memegang tanganku. “Aku yakin kamu akan mendapat yang lebih baik setelah
ini. Aku hanya tidak bisa melanjutkan ini lagi. Itu saja.”
Aku bergeming saat ia menampakkan
punggungnya dan melangkah menjauh. Disusul deraian hujan yang semakin lama
semakin tak terkendali. Aku mendongak sekali lagi ke atas, dan percikan keras
menimpa wajahku. Kuhujamkan pandanganku ke arahnya.
“Aarrgh.…!!!!” aku berteriak sekuat
tenaga, berharap ia mengerti bahwa aku menantangnya. “I hate you rain…!!! Aku
harap kamu nggak pernah ada!”
***
Peristiwa kemarin membuat mataku
sedikit bengkak. Namun aku harus masuk hari ini. Ada misi untuk mengembalikan
buku catatan sahabat yang tertinggal di rumah pas belajar bareng. Tirta
namanya. Kelasnya hanya beda 2 ruang dariku. XI IPA-1, markas para siswa jenius.
Jadi pas istirahat nanti, aku akan langsung ke kelasnya.
“Zzrrssh….” Air membentur bumi
dengan begitu keras, menimbulkan gelegar berisik yang tak pernah ingin ku
dengar. Hujan turun tepat ketika jam pelajaran berakhir, menyamarkan bunyi bel
istirahat dari kantor.
“Oh, God…,” geramku.
Aroma hujan selalu merusak suasana
hatiku. Dengan kesal, aku melangkah keluar. Mengomel, merutuk pada kenyataan
mengapa aku tak dilahirkan di gurun pasir saja. Kelas kami di lantai dua, jadi
betapa cepatnya kesalku bermimikri menjadi terkejut begitu kudapati semua siswa
melongok ke bawah.
“Deb, Deb, pada ngapain sih mereka
ngeliatin lapangan basket?” tanyaku menghalangi jalan Debby.
Tak segera dijawab, ia malah
mengamatiku dengan heran. “Mereka nontonin Tirta sama Prita main basket,”
jawabnya beberapa saat kemudian.
Aku terbelalak hendak mengecek. Tapi
Debby menegurku, “Cat Woman, loe yakin gak di kelas aja? Ini ujan lo.”
“Aku benci bukan berarti aku takut.”
Kemudian ia berlalu sambil mengedikkan bahu.
Dua manusia berseragam basket sedang
berada di lapangan. Seperti kata Debby, hanya Tirta dan Prita, mantan
kekasihnya. Mereka begitu asyik, hingga merasa hujan bukan menjadi penghalang.
Aku tak tahu mengapa dua orang cerdas dan jago main basket punya pemikiran
seperti itu.
“Wuuooo… plok, plok, plok…,” sorak penonton ketika Prita
berhasil memasukkan bola. Ia menjulurkan lidah dan Tirta membalas dengan
tawanya. Mereka berdua saling melempar tawa.
Aku tak bisa mengalihkan pandangan
sedetik pun. Ada kebahagiaan di sana, di tengah hujan, yang membuatku sangat
marah. Sesuatu membakar dadaku. Membuat napasku tak beritme seperti sebelumnya.
Satu-satunya hal yang kulakukan saat ini adalah menatap tajam mereka berdua.
Buku catatan bersampul tebal yang dari tadi kupegang, sengaja kulempar ke bawah
setelah kucengkeram kuat. Aku cemburu, aku memang menyukai Tirta.
“Brukk.” Ia refleks menoleh ke
bukunya dan sempat melihatku. Aku segera pergi, menghindari tatapan aneh semua
orang yang ada di situ.
“Martha!!!” teriak Tirta yang
meninggalkan lapangan, mengejarku. Aku berhenti di pojok koridor, di sisi
tangga yang jarang dilalui anak-anak.
“Mar…,” katanya lirih.
Aku membelakanginya. “Kamu udah
gila, Tir? Hujan bisa membuatmu sakit,” kataku sambil membalikkan badan.
“Loe tahu gue gak bakal semudah itu
sakit cuman gara-gara hujan,” jawabnya.
“Jangan mentang-mentang nama kamu sama
dengan air, trus kamu bisa seenak hati bermain-main dengannya,” sergahku.
Kuluruskan telunjukku ke arah air yang jatuh bersusul-susulan. “Karena dia bisa
membawa hal buruk untukmu!”
Tirta memegangi kepalanya. ”Oh,
ayolah Mar… tidak semua yang dibawa hujan itu buruk. Gue yakin loe tahu itu.”
Aku masih menatapnya tajam. “Gimana nasib
tumbuh-tumbuhan yang layu kalo nggak ada hujan? Para binatang yang kehausan,
sungai-sungai kering, atau orang yang menderita karena kekurangan air?”
tuturnya.
“Lalu gimana dengan hari perceraian
orang tuaku dan ketika ayah meninggal? Saat adik loe kecelakaan, atau kemarin
waktu aku diputusin Joe? Di sana turun hujan, Tir… hujan yang sama dengan hari
ini!!” balasku.
“Mar… itu cuma hujan!!!” teriak
Tirta. “Semuanya hanya kebetulan,“ ujarnya.
“Bukankah…,” aku menelan ludah,
“Bukankah disebut kebetulan karena jarang terjadi?! Dan bukan sesering yang aku
alami.”
Tirta nampak putus asa. “Percuma debat
berkali-kali sama loe,” katanya sambil berlalu dari situ. Sementara aku
mengawasi hujan dengan penuh amarah.
“Mart…,” panggilnya. Sudah kuduga ia
akan kembali. “Pulskul nanti gue mau ngajarin loe Matem. Ke tempat biasa ya,”
katanya kembali normal. Namun aku menegangkan urat wajahku lebih dari
sebelumnya sambil melangkah maju. “Udah dong Mar, kayak loe nggak pernah tukar
argumen aja sama gue,” ia membujuk.
Tepat di hadapannya, kuacak
rambutnya. “Satu kosong!” teriakku sebelum kabur secepat kilat.
“Woey, curang loe!! Martha!!!”
***
Ini pojok favoritku dan Tirta. Di
bawah naungan beringin pinggir lapangan, tepat di seberang deretan kelas kami.
Ada tempat duduk dari kayu di situ. Biasanya buat diskusi atau belajar bareng
ketika sekolah sudah sepi, seperti saat ini. Nggak ada yang bisa ngganggu Tirta
kalo lagi belajar, kecuali pandangan tanpa berkedipku.
Ia melirik, “Mulai deh… loe
ngeliatin gue lagi….”
Aku salah tingkah. “Haha, ge-er. Aku
cuma lagi ngamatin, apa sih yang salah sama kamu, kok bisa jenius banget.”
“Salahnya bukan di gue. Tapi para
manusia yang males belajar tuh. Ada apa dengan mereka, sampek nggak mau
manfaatin kecerdasan yang mereka punya?” ujarnya yang lebih mirip nyeramahi.
Aku menaikkan alis, menerima argumennya tanpa syarat.
“Tapi Mart,” katanya lagi. Baru
setengah lingkaran mulutku terbuka, ia sudah menyambung. “Poinnya bukan itu
kan?” Kepalaku sedikit lebih maju dari semula. “Alasan loe ngeliatin gue.
Naksir loe ya sama gue…?” Ia mencoba menggodaku.
Bersamaan dengan pertanyaan yang tak
mungkin kujawab itu, langit berubah mendung. Perlahan awan putih terganti oleh
yang hitam. Udara menjadi dingin dan angin semilir menggerakkan rambutku yang
sebahu.
“Tes… tes… tes…,” suara khas itu
membuat dadaku bergemuruh.
“Favorit lu nih,” ucapku kepada Tirta.
Ia memandang langit, tersenyum. Membuatku semakin muak pada gerimis ini.
Kusambar jaket hitamnya yang
tergeletak di sebelahku. “Pinjem, Tir.” Aku hendak menyelamatkan diri ke tempat
yang aman ketika tangannya tiba-tiba meraih pergelangan tanganku.
“Tir, kamu tahu, aku benci, jadi
biarkan aku ... ”
“Melarikan diri?” sahut Tirta cepat.
Ia menggeleng. “Inget waktu loe ninggalin gue sendirian di kafe karena turun hujan?”
Memoriku kembali memutar kejadian
itu. Aku sedang duduk di dalam kafe dan sinar matahari meredup seperti
sekarang. Aku panik hingga melupakan Tirta yang berada di toilet. Kutinggalkan
ia di sana.
“Akui Mar, kalo loe takut. Loe
terlalu paranoid sama hujan,” tuduhnya yang kubalas ekspresi marah.
“Aku nggak pernah takut!” sergahku
sambil menjatuhkan jaketnya sebagai bukti bahwa aku tidak seperti yang ia kira.
“Kalo gitu disebut apa orang yang
kabur begitu melihat hujan?” Tirta memelankan suaranya. “Kita bukan Tuhan, Mar.
Nggak ada yang bisa kita lakukan untuk mengubah atau menuntut agar ini tak
terjadi. Dan loe nggak bisa terus-menerus menghindar.” Ia mendekat, memperkecil
jarak antara kami. Sementara buliran air yang jatuh semakin banyak. “Gue tahu
suara hati kecil loe membenarkan itu semua. Bukan hujan yang menyebabkan hal buruk terjadi.
Itu hanya bagian dari rencana-Nya agar loe nggak terus-terusan menangis seperti
hujan.”
“Tir…,” gumamku tanpa menatap
wajahnya.
“Please Mart, please… jangan atap
itu yang ngelindungin loe dari dia,” katanya memohon sembari memelukku. “Biar
gue aja.”
Aku sudah tak mampu membedakan mana
tetesan hujan dan air mata di pipiku. Keduanya samar.
If it’s going to be a rainy day,
there’s nothing we can do to make it
change
We can pray for sunny weather,
but that won’t stop the rain
Let it fall, let it fall, let it fall
Please don’t stop the rain ...
Lagu milik James Morrison mengalun
di tengah perkusi gerimis. Untuk pertama kalinya, aku memohon agar hujan tidak
berhenti turun.
0 komentar