source: favim.com |
Dulu pas kecil, aku suka rambutku dikepang. Bukan karena biar cantik. Tapi karena rambutku harus ditarik-tarik, terus dipilin, dan ditali. Rasanya geli tapi aku ketagihan. Tapi setelah itu, rambutku jadi keriting. Bergelombang. Aku tak suka. Biasanya bukan aku yang minta dikepang atau dikuncir. Tapi ibu. Ibu yang mengatur rambutku hari ini apakah mau dikepang atau dikuncir atau diurai sambil dijepiti warna-warni. Tangan-tangan ibu yang setiap pagi menjamah rambutku, kadang terasa sedikit menjambak. Apalagi pas nyisir. Rambutku suka mbundel. Jadi aku suka teriak kalau sisir memaksa lolos dari rambutku sampai ujung. Biasanya kalau sisir bisa lolos, rambutku jadi rontok. Sampai sekarang. Padahal rambutku ndak mbundel. Meski sudah rontok banyak-banyak, tapi rambutku tak habis-habis juga. Kata ibu, rambutku gembel[1].
Makanya dia suka menata rambutku. Sekarang, aku mau kepalaku botak. Makanya aku suka kalau rontoknya banyak. Karena itu akan mempercepat kebotakanku.
Tapi ternyata aku tak kunjung botak. Dulu ibu sempat bilang akan menggunduliku. Karena kepalaku banyak kutunya. Tapi nggak pernah kejadian. Tiap sore kerjaan ibu adalah memburu kutu di rambutku untuk dia sesap darahnya. Aku tidak becanda. Ibu benaran memakan darahnya. Manis, katanya. Karena kesukaan ibu memburu kutu di rambutku tiap sore, aku jadi sering bolos ngaji. Kalau ditanya pak ustad kenapa aku sering ndak masuk, aku bingung jawabnya. Aku malu kalau harus bilang ini karena ibu suka memburu kutu. Itu artinya rambutku kutuan. Nanti teman-temanku mengejek dan mereka menjauh karena ndak mau ketularan. Jadi aku terpaksa bohong. Kubilang aku ketiduran. Pak ustad bingung, kenapa ketidurannya sering sekali. Aku bilang karena tidurku memang lama. Lalu teman-teman tertawa.
Sekarang aku harus memunguti rambutku dan memilin-milinnya jadi bundelan. Ibu menyuruhku mengumpulkannya dalam kresek. Untuk dijual Mbah Pah ke tukang rambut, katanya. Meskipun aku sudah nggak kutuan lagi, tapi aku tetap kasihan pada orang yang akan memakai rambutku. Karena ada ketombenya. Apakah ketombe menular? Aku tidak tahu. Tapi ketombe sama memalukannya seperti kutu. Karena aku sering garuk-garuk kepala di balik kudung. Sama seperti ketika kutu di rambutku masih banyak. Teman-temanku tak ada yang menggaruk-garuk kepalanya. Terutama pas upacara bendera. Aku jadi harus menahan-nahan gatal di kepalaku agar tidak kugaruk. Rasanya nggak enak.
Untung aku ndak mens kayak Mbak Lela. Aku ndak tahu apa itu mens, tapi ibu selalu melarang Mbak Lela membuang rambut sembarangan. Harus dimasukkan kresek lalu dicuci pas mens-nya sudah berhenti.
“Kenapa, Bu?” Aku bertanya suatu hari.
“Karena perempuan itu semua badannya ndak suci pas mens. Nah kalau sudah berhenti, rambut itu harus dikeramasi, termasuk rambut mbakmu yang rontok yang di dalam kresek itu. Baru setelah itu boleh dibuang.”
“Ndak dijual sama mbah lagi, Bu?”
Ibu langsung menyahut. “Eh iya jangan dibuang, La. Kasih ke mbahmu,” kata ibu sambil memutar-mutar onde-onde di tempayan yang penuh wijen.
Lihat wijen, aku jadi ingat ketombe. Disuruh membantu, aku lebih suka mbunder-mbunder kacang ijo meski warnanya kuning. Aku tidak bertanya ke ibu apakah namanya jadi kacang kuning.
Memang repot kalau punya rambut. Aku jadi semakin kepingin botak. Gundul. Toh aku pakai kudung di madrasah. Tidak ada yang melihat. Paling cuma Mas Antok. Itupun dia jarang pulang. Paling enam bulan sekali dia ketawa-ketiwi melihat kepalaku yang plontos. Cewek kok gundul, mungkin dia akan bilang gitu sambil ngusap-ngusap kepalaku. Sejak kuliah, dia sudah ndak manggil anak perempuan dengan sebutan perempuan atau nduk, tapi cewek, kayak yang di tivi-tivi. Setelah itu, sudah, dia juga akan serius lagi ke pelajaran kuliahnya. Terus yang akan melihat botakku lagi mungkin Mbah Pah. Tapi dia mungkin juga akan senang karena rambut yang dia jual jadi banyak. Dan dia bisa dapat uang banyak. Tapi setelah itu, dia ndak bisa jualan rambutku lagi. Walaupun begitu, aku tetap ingin botak. Biar, mbah ndak bisa jualan rambut lagi. Nanti aku bisa minta rambut dari Maisaroh. Rambutnya ndak kalah gembel dari aku. Tapi aku ndak tahu rambutnya suka rontok juga atau enggak. Kalau Mbak Lela, dia mungkin yang paling menertawakan aku. Tapi kalau dia mengejek aku, aku akan balik mengejek tahi lalatnya yang di bawah hidung kayak upil.
Bagaimana ya aku bilangnya ke ibu? Apa ibu mau kalau aku botak? Apa dia ndak akan marah? Atau dia malah ketawa? Iya sih aku jarang melihat anak perempuan yang kepalanya gundul. Cuma di sinetron Ronaldowati. Tapi itu karena dia memang tomboi. Sedangkan aku ndak tomboi. Aku ndak suka sepak bola. Aku ndak suka manjat kayak Tomi. Aku sukanya masak-masakan dan boneka-bonekaan. Kan itu namanya aku bukan tomboi. Apa ada anak perempuan yang ndak tomboi tapi rambutnya gundul? Apa aku yang pertama di dunia ini? Kalau ya, apa aku akan masuk tivi? Aku nggak mau masuk tivi, nanti semua orang tahu kalau aku gundul.
Aku takut bilang ke ibu. Meskipun aku sekarang suka main di bawah pohon nangka dekat salon cukur Cak Mat. Tak apa suara mesin cukurnya ribut. Asal aku bisa melihat orang-orang yang pulang dengan kepala gundul atau setengah gundul. Siapa tahu aku disuruh Cak Mat jadi model rambut gundul di samping gambar cewek-cewek yang rambutnya aneh-aneh dan ditempel di pohon nangka itu. Aku sebenarnya heran kenapa yang dipajang Cak Mat adalah gambar rambut perempuan, padahal semua pelanggannya laki-laki. Tapi aku ndak berani nanya, bisa-bisa nanti Cak Mat marah dan aku ndak boleh main dekat-dekat salon cukurnya. Ini sudah ketiga kalinya aku gonta-ganti seragam sekolah saat main di sini. Aku sudah pernah main di sini pakai seragam hijau putih Senin Selasa, batik Rabu Kamis, sama pramuka Jumat Sabtu. Tapi Cak Mat belum juga memintaku menjadi model botak. Padahal itulah impianku saat ini. Teman-temanku yang lain mimpi jadi Tuan Puteri. Aku tidak. Tapi aku mau kalau Tuan Puterinya botak.
Tentang impianku jadi botak ini, aku ndak cerita ke siapa-siapa. Kecuali Mbah Pah. Sekarang ini, pas aku ngantar rambut Mbak Lela ke mbah untuk dijual, aku cerita kalau aku ingin botak. Mbah Pah yang biasanya diam langsung ketawa keras. Tapi dengan gigi ompong. Lucu. Jadi aku ndak terlalu tersinggung.
"Mbah gimana Mbah, apa boleh kalau aku botak?"
Mbah Pah langsung menyodori aku kepalanya. Ada bagian yang kosong di antara rambut putih panjangnya, tepat di ubun-ubun. “Ini, nanti kalau sudah tua, kamu akan botak sendiri,” katanya sambil masih ketawa sedikit.
"Mbah gimana Mbah, apa boleh kalau aku botak?"
Mbah Pah langsung menyodori aku kepalanya. Ada bagian yang kosong di antara rambut putih panjangnya, tepat di ubun-ubun. “Ini, nanti kalau sudah tua, kamu akan botak sendiri,” katanya sambil masih ketawa sedikit.
“Yah, lama dong Mbah. Aku mau botaknya sekarang. Aku ndak suka punya rambut. Banyak ketombenya. Gatal. Aku jadi garuk-garuk terus di sekolah. Malu, Mbah.”
Mbah Pah kaget. “Kamu malu garuk-garuk, tapi ndak malu kalau gundul?”
Aku geleng-geleng. Mbah Pah juga.
Esoknya, Mbah Pah bilang ke ibu kalau aku kepingin gundul. Sambil memburu kutu di beras, ibu melihatku sebentar. Terus dia senyum-senyum.
"Anak perempuan kok gundul. Rambut itu mahkota kepala. Ndak pantes kalau perempuan gundul." Tapi ibu ngomong itu seperti bukan ditujukan ke aku. Tapi ke kutu-kutu beras yang sedang dilumatnya pake jempol dan telunjuk. Ibu ndak mengira kalau aku serius. Aku jadi dongkol ke mbah. Karena kemarin seharusnya adalah perbincangan rahasia. Aku merasa dikhianati. Tapi wajah mbah ndak merasa bersalah. Jadi aku pun biasa saja. Mungkin karena aku dan mbah belum menautkan jari kelingking kami berdua sebelum berpisah. Jadi dia mengira itu bukan janji rahasia. Kalau saja aku sendiri yang bilang hal ini ke ibu, mungkin ibu bisa menganggap aku serius.
"Anak perempuan kok gundul. Rambut itu mahkota kepala. Ndak pantes kalau perempuan gundul." Tapi ibu ngomong itu seperti bukan ditujukan ke aku. Tapi ke kutu-kutu beras yang sedang dilumatnya pake jempol dan telunjuk. Ibu ndak mengira kalau aku serius. Aku jadi dongkol ke mbah. Karena kemarin seharusnya adalah perbincangan rahasia. Aku merasa dikhianati. Tapi wajah mbah ndak merasa bersalah. Jadi aku pun biasa saja. Mungkin karena aku dan mbah belum menautkan jari kelingking kami berdua sebelum berpisah. Jadi dia mengira itu bukan janji rahasia. Kalau saja aku sendiri yang bilang hal ini ke ibu, mungkin ibu bisa menganggap aku serius.
Itulah kenapa akhirnya aku berdiri dan berjalan ke depan ibu. Dengan tegas berkata, “Bu aku beneran mau gundul!”
“Hah?” Ibu melongo. Tentu. Aku sudah menebak reaksinya yang ini begitu aku bilang impianku yang sebenarnya. “Opo wae, nduk,” kata Ibu setelah tenang dari melongonya. “Sana, nyapu latar.” Suruh ibu malah. Aku kecewa. Aku kurang tegas mengatakannya. Aku pun mengambil sapu dan menuju halaman depan rumah.
Saat itulah ada orang dengan kepala gundul datang ke rumah. Mataku berbinar. Mataku selalu begitu setiap kali melihat orang gundul. Dia tersenyum ke arahku dan aku membalasnya. Aku langsung berlari memanggil ibu. “Bu, ada tamu!” teriakku.
Namanya Pak Somad. Ternyata dia mau pesan kue ke ibu untuk nikahan anaknya. Seribu kue! Dia suka cengangas-cengenges di depan ibu sambil garuk-garuk kepala. Aku bingung. Orang botak seharusnya tidak garuk-garuk kepala karena dia sudah tidak punya ketombe. Setelah lama di ruang tamu, dia pun pamit sambil membungkuk. Dan di sana! Aku melihatnya! Di tengah-tengah ubun-ubunnya yang botak. Ketombe yang sangat lebar dan besar! Aku melongo. Ibu juga ikutan melongo sebentar, sebelum menjawab pamit Pak Somad.
Namanya Pak Somad. Ternyata dia mau pesan kue ke ibu untuk nikahan anaknya. Seribu kue! Dia suka cengangas-cengenges di depan ibu sambil garuk-garuk kepala. Aku bingung. Orang botak seharusnya tidak garuk-garuk kepala karena dia sudah tidak punya ketombe. Setelah lama di ruang tamu, dia pun pamit sambil membungkuk. Dan di sana! Aku melihatnya! Di tengah-tengah ubun-ubunnya yang botak. Ketombe yang sangat lebar dan besar! Aku melongo. Ibu juga ikutan melongo sebentar, sebelum menjawab pamit Pak Somad.
"Bu, bu, apa orang botak juga bisa punya ketombe?" Aku menarik-narik daster ibu setelah Pak Somad tidak kelihatan lagi.
"Itu bukan ketombe. Itu tadi namanya koreng." Aku langsung diam kayak patung. Ibu ke belakang melanjutkan pesanan donat pak lurah. Koreng? Jadi kalau botak, aku tidak ketombean lagi, tapi aku akan korengan?!
"Itu bukan ketombe. Itu tadi namanya koreng." Aku langsung diam kayak patung. Ibu ke belakang melanjutkan pesanan donat pak lurah. Koreng? Jadi kalau botak, aku tidak ketombean lagi, tapi aku akan korengan?!
Sejak itu, aku tak mau lagi jadi botak. Aku mau tetap punya rambut. Tapi rambut yang sangat pendek seperti Pak Tara. Biar aku tidak korengan, meskipun mungkin tetap ketombean walaupun dikit. Aku ndak pernah liat Pak Tara garuk-garuk kepala, jadi model rambut baruku yang ini mungkin berhasil. Apa ada Pak Tara yang garuk-garuk kepala pas lagi perang? Itu pasti karena rambutnya yang ndak botak, tapi juga ndak gembel.
Aku belum pernah absen dari mainku di dekat pohon nangka Cak Mat. Aku akan setia di sini menunggu Cak Mat membutuhkan model rambut Pak Tara. Begitu Cak Mat membutuhkan model rambut Pak Tara, dengan lantang aku akan maju jalan ke kursi kayu di depan cermin yang menempel di pohon nangka itu, dan memberi hormat pada model cewek-cewek yang ada di atas cermin itu, dan tersenyum lebar kepada Cak Mat. Aku siap punya rambut Pak Tara!
[1] baca e-nya kayak bunyi gemar