Bawa aku di satu masa ketika aku bisa berbaring di atas padang rumput dengan cahaya hangat matahari menyirami pori. Semilir angin yang sayup meredupkan kelopak mata sembari jangkrik-jangkrik kecil berlompatan di atas rambut. Domba-domba menyantap sarapan dan kaki penggembala menggilas sisa-sisa embun dengan kakinya. Bawalah aku ke masa itu lagi. Kek Dar menghirup napasnya dalam-dalam dengan mata terpejam. Ia mulai sering melakukan aktivitas...
Hari ini 8 panggilan tertera dalam layar ponselku yang tak terjawab karena tak sengaja terperangkap dalam tas. Tersangka paling kuat sejauh ini yang tahan untuk memencet tombol panggil meski sering terabaikan, hanya orang-orang dari rumah. Ibuku, berada pada daftar teratas.
Benarlah, panggilan itu berasal dari suara yang sering tak kusadari, kurindukan.
Ternyata malam ini bukan malam antara anak dan Ibu tentang keluh, peluh atau hal-hal yang membuatku luluh. Untunglah mulut ibu tak tergugu malam ini. Setidaknya ada seminggu untukku tak terlalu terganggu.
Malam ini malam dialog singkat antara anak dan ayah yang sungguh mengusik. Bukan karena kami biasa asyik. Tapi cukup membuat nuraniku berisik.
"Gimana?" kata tanya yang selalu dilontarkan ayah di baris pertama sapaan panggilannya.
"Apanya Yah yang gimana?" ini juga yang selalu kugunakan sebagai balasan.
Kemudian ayah tak akan menjawab. Karena aku akan selalu tahu maksud prolog pertanyaannya.
"Ayah nggak pa-pa bulan ini jadinya ngirim lebih?" maksudku uang bulanan, tentu saja.
"Ya gak pa-pa. Besok ayah transfer. Minggu depan juga, kalau bisa."
Ayah....
Kenapa aku harus bertransaksi dengannya?
"Beneran Yah, gak pa-pa?" kembali kutanya dia. Hanya sekadar untuk mengisi jeda di antara keheningan.
Lalu basa-basi, aku tanyai kabarnya. Basa-basi juga, ia jawab sekenanya.
Jadi hanya itu intinya? Malam ini aku hanya bertransaksi dengan ayah.
Meminta uang. Mengeruk peluh untuk dihadiahkan padaku.
Memastikan kebutuhan di rumah tetap akan terpenuhi meski jatahnya sudah kuserobot. Memaksa menenangkan diri di balik pernyataan "baik-baik saja" dari ayah, meski kutahu yang terjadi adalah sebaliknya.
Semoga tak kudengar samar-samar sesengguk ibu dari seberang punggung ayah.
Transaksi konyol yang kami pertahankan tiga tahun ini.
Paling tidak dia bisa berpesan, "Jangan terlalu buang-buang duit di rantauan" Atau "Bulan ini Ayah nggak bisa transfer".
Lalu aku bisa bilang, "Iya yah, gak pa-pa. Maaf selalu ngerepotin Ayah".
Tapi prinsip ayah diperparah dengan kesombongan untuk tak merobohkan benteng pertahananku. Agar tak pernah terlihat lemah di mata anak-anaknya.
Hubungan kita tidak sekonyol ini kan, Yah?
Benarlah, panggilan itu berasal dari suara yang sering tak kusadari, kurindukan.
Ternyata malam ini bukan malam antara anak dan Ibu tentang keluh, peluh atau hal-hal yang membuatku luluh. Untunglah mulut ibu tak tergugu malam ini. Setidaknya ada seminggu untukku tak terlalu terganggu.
Malam ini malam dialog singkat antara anak dan ayah yang sungguh mengusik. Bukan karena kami biasa asyik. Tapi cukup membuat nuraniku berisik.
"Gimana?" kata tanya yang selalu dilontarkan ayah di baris pertama sapaan panggilannya.
"Apanya Yah yang gimana?" ini juga yang selalu kugunakan sebagai balasan.
Kemudian ayah tak akan menjawab. Karena aku akan selalu tahu maksud prolog pertanyaannya.
"Ayah nggak pa-pa bulan ini jadinya ngirim lebih?" maksudku uang bulanan, tentu saja.
"Ya gak pa-pa. Besok ayah transfer. Minggu depan juga, kalau bisa."
Ayah....
Kenapa aku harus bertransaksi dengannya?
"Beneran Yah, gak pa-pa?" kembali kutanya dia. Hanya sekadar untuk mengisi jeda di antara keheningan.
Lalu basa-basi, aku tanyai kabarnya. Basa-basi juga, ia jawab sekenanya.
Jadi hanya itu intinya? Malam ini aku hanya bertransaksi dengan ayah.
Meminta uang. Mengeruk peluh untuk dihadiahkan padaku.
Memastikan kebutuhan di rumah tetap akan terpenuhi meski jatahnya sudah kuserobot. Memaksa menenangkan diri di balik pernyataan "baik-baik saja" dari ayah, meski kutahu yang terjadi adalah sebaliknya.
Semoga tak kudengar samar-samar sesengguk ibu dari seberang punggung ayah.
Transaksi konyol yang kami pertahankan tiga tahun ini.
Paling tidak dia bisa berpesan, "Jangan terlalu buang-buang duit di rantauan" Atau "Bulan ini Ayah nggak bisa transfer".
Lalu aku bisa bilang, "Iya yah, gak pa-pa. Maaf selalu ngerepotin Ayah".
Tapi prinsip ayah diperparah dengan kesombongan untuk tak merobohkan benteng pertahananku. Agar tak pernah terlihat lemah di mata anak-anaknya.
Hubungan kita tidak sekonyol ini kan, Yah?
Teman-teman cewekmu pasti juga banyak yang pecinta kopi, toh? Enggak. Cuma kamu. Aku tertawa. Lantas, mereka suka apa? Rokok? Gincu. Dan bedak tebal. Tapi kau betah bersama mereka. Tidak sebetah ketika bersamamu. Ah. Petualang sepertimu mana tertarik dengan kutu buku seperti aku. Kau juga petualang. Dengan buku-bukumu. Oh, ayolah. Apa serunya duduk-duduk sambil mantengin huruf, dibanding dengan menantang hujan dan mentari. Merasakan angin...