Bawa aku di satu masa ketika aku bisa berbaring di atas padang rumput dengan cahaya hangat matahari menyirami pori. Semilir angin yang sayup meredupkan kelopak mata sembari jangkrik-jangkrik kecil berlompatan di atas rambut. Domba-domba menyantap sarapan dan kaki penggembala menggilas sisa-sisa embun dengan kakinya. Bawalah aku ke masa itu lagi.
Kek
Dar menghirup napasnya dalam-dalam dengan mata terpejam. Ia mulai sering
melakukan aktivitas itu belakangan ini. Meski paru-parunya mulai tak sanggup
menampung banyak oksigen. Namun seakan ruang di memorinya sebesar perut ikan
paus, ia mampu menelan semua kenangan untuk dikeluarkannya lagi. Kek Dar, Mbah Dar
aku menyebutnya, punya jutaan misteri yang ia pikul sendiri. Terkadang aku
ingin menguaknya selapis demi selapis. Tapi dia hanya mengizinkanku menguliti hingga
lapisan kedua.
“Mbah
lagi ngapain?” tegurku membuyarkan gerakan dadanya menyedot udara yang masih
bisa masuk lewat hidungnya. Ia duduk di depan serambi rumah yang penuh abu sisa
muntahan Bromo sebulan silam. Aku menghampirinya.
Keriputnya
menegang karena tarikan bibirnya yang ke atas membentuk senyum. Padahal tak
perlu mengenal Mbah Dar terlalu jauh untuk mengetahui bahwa ada beban sebesar
Bromo di balik senyumannya. “Cucuku yang bagus....” Ditariknya aku ke
pangkuannya. “Apa lagi yang ingin kau ketahui hari ini?” Belakangan ia selalu
mendahuluiku bertanya.
“Mbah
tadi lagi ngapain?”
“Mbah
tadi sedang bermimpi,” bisiknya padaku melalui dua bibirnya yang legam dan
tidak mulus.
“Mbah
mimpi tidur di padang rumput lagi?” Aku meneleng ke arahnya.
“Ya,”
jawabnya.
Aku
mendorong dekapan tangannya dari kedua lenganku. “Mbah selalu bilang mimpi
tidur di atas padang rumput. Tapi Mbah tidak pernah bilang di mana itu. Apa itu
padang rumput. Kapan itu terjadi.”