Aku sempat telah bersumpah bahwa tidak akan menulis apa pun
tentangmu lagi. Tapi nyatanya di sinilah aku, dini hari, menandaskan kopi,
mengenangmu, kembali dengan aksara. Pengaruhmu terlalu kuat, bahkan ketika eksistensimu harusnya
sudah lenyap dari peredaran satelit kalenderku.
Mungkin karena musik kita yang terputar di playlist
laptopku?
Apalah kenangan yang tersisa darimu, selain empat menit satu
detik lagu mellow itu. Kutusuk diriku berkali-kali dengan memutarnya lagi dan lagi.
Kau memang tak lagi adiktif, tapi memori dan atmosfer yang
kurasakan ketika mengingatmu lah yang tinggal candu.
Apakah seperti ini kodrat manusia? Menciptakan luka sendiri
untuk ia nikmati lamat-lamat?
Yang mungkin bisa disyukuri adalah bahwa aku tidak menangis. Karena bukan untuk ingin membuatmu kembali lagi, iseng aku
hanya ingin merasa. Indah pernah memilikimu, meski tidak secara status. Indah
pernah dimiliki olehmu.
Keindahan yang akan tak pernah lagi kuimpikan. Telah kurasakan berulang kali setiap keindahan yang berakhir
dengan rasa tawar.
Hanya satu tulisan yang masih kusimpan untuk kubaca ulang
kapan-kapan ketika merindukan bekas rasa indah itu. Yang kau tulis semata untukku setiap kali ingin kau
sampaikan padaku tapi terlalu murahan jika kau lakukan, karena begitulah dirimu.
Bekejaran dengan kesadaranmu dalam waktu.
Aku tak mendengar kabarmu lagi semenjak kau ajak kita
berteman, yang langsung kutolak. Bagiku lebih baik kita sebatas orang yang berpapasan di
jalan ketimbang berteman tanpa saling mengenal. Toh kita juga akan mengakhirinya dengan kehambaran yang
sama. Toh aku juga akan mengakhiri tulisan ini karena sudah bosan
dengan cerita yang melulu itu-itu saja.