Apa yang membangun sebuah kota? Tentu saja
wilayah, pemerintahan, dan penduduk. Tapi apa yang membuat kota itu disebut
kota pintar? Jawabannya sama, tapi dengan sedikit tambahan berbeda. Sebuah kota hanyalah kota jika wilayahnya tidak bebas polusi. Pemerintahan yang tak
bersistem tidak bisa disebut kota pintar. Atau penduduk yang tak peduli
terhadap wilayah tempat tinggalnya. Kota pintar butuh tiga elemen ini, wilayah
hijau, pemerintahan cerdas, dan penduduk berkesadaran tinggi. Semua itu akan
berjalan jika didukung oleh teknologi dan informasi yang terakses dengan mudah
di kota tersebut. Lihat saja San Fransisco, Amsterdam, Tokyo, Xinjiang, dan
Seattle. Pengisi bahan bakar listrik umum, penerapan energi surya, koneksi
internet super cepat, sistem transportasi anti macet, dan penerapan daur ulang.
Judul : Filosofi Kopi: Kumpulan Cerita dan Prosa Satu Dekade
Pengarang: Dewi Lestari (Dee)
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2012
Halaman: xiv + 142
Pengarang: Dewi Lestari (Dee)
Penerbit: Bentang Pustaka
Tahun Terbit: 2012
Halaman: xiv + 142
Dewi Lestari atau yang lebih akrab
dipanggil Dee adalah seorang penyanyi, pengarang lagu, dan penulis. Novel
pertamanya, Supernova yang merupakan trilogi melejit begitu dirilis pada tahun
2001. Novel terbarunya ialah Madre, terbit pada tahun 2011 lalu. Dee sudah
aktif menulis di masa remajanya, namun tak banyak yang mengetahui hobinya yang
satu ini. Mungkin itulah sebabnya nama Dee masih terasa harum di antara jajaran
nama penulis yang sudah eksis terlebih dahulu. Sebenarnya, Filosofi Kopi ini
diterbitkan untuk kali pertama di tahun 2006 oleh penerbit yang berbeda. Namun,
karena pembaca masih terpikat oleh daya tarik tulisan Dee, maka Bentang Pustaka
merasa perlu mencetak novel ini lagi.
Ada 18 judul karangan, salah satunya yaitu Filosofi Kopi yang menjadi judul buku ini. Alasannya mungkin karena cerita berjudul Filosofi Kopi itulah yang dijadikan andalan dalam kumpulan cerita dan prosa satu dekade ini. Tujuh belas judul lainnya antara lain, Mencari Herman, Surat yang Tak pernah Sampai, Salju Gurun, Kunci Hati, Selagi Kau Lelap, Sikat Gigi, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Sepotong Kue Kuning, Diam, Cuaca, Lara Lana, Lilin Merah, Spasi, Cetak Biru, Buddha Bar, dan Rico de Coro.
Filosofi Kopi bercerita tentang Ben yang notabene seorang petualang
kopi. Ia menghabiskan waktunya untuk berkeliling dunia mencari cita rasa
kopi-kopi terbaik. Bersama Jody sahabatnya, ia pun membuka “Kedai Koffie Ben
& Jody” yang kemudian diubah menjadi “Filosofi Kopi Temukan Diri Anda di
Sini” setelah Ben mendapatkan ide untuk membekukan filosofi setiap kopi yang
diminum pelanggannya dalam sebuah kartu. Baginya, setiap kopi punya karakter
masing-masing.
Suatu hari, seorang pengusaha sukses yang kaya raya mendatangi Ben untuk
menantangnya membuat racikan kopi yang punya arti kesuksesan merupakan wujud
kesempurnaan hidup dengan imbalan lima puluh juta rupiah. Berminggu-minggu uji
coba, Ben menjawab tantangan tersebut dengan kopi orisinal buatannya, Ben’s
Perfecto, cita rasa kopi yang sempurna bagi semua pelanggannya. Tidak
satu pun menampik kesempurnaan tersebut kecuali satu orang, yakni pengunjung
baru Filosofi Kopi. Ia berkata bahwa ada kopi yang lebih enak dari Ben’s
Perfecto.
Keambisiusan Ben dibuktikan dengan kepergiannya ke puncak Merapi untuk
menemukan kopi yang dimaksud. Kopi itu ternyata kopi tiwus yang memang bercita
rasa lebih nikmat dari kopi Ben. Sadar akan kenyataan bahwa semakin kita
mengejar kesempurnaan, justru ketidaksempurnaanlah yang kita dapat, maka Ben
memberikan cek lima puluh juta rupiah tadi ke pak tua penjual kopi tiwus.
Buku ini memiliki daya pikat, mampu menghipnotis para pembaca untuk
tidak bisa lepas sampai semua bab terselesaikan. Ini dikarenakan Dee sangat
pandai mengolah kalimat dan kata sehingga yang dituliskan Dee terkesan mengalir
sesuai ritme dan tempo. Tiap bab memiliki makna yang dalam. Dee tidak membuat
buku ini terkesan sebagai bacaan berat, pun tidak menjadikan buku ini sebagai
kumpulan cerita dan prosa dengan bahasa santai dan serampangan. Jalan ceritanya
tidak ruwet, tapi bukan berarti tanpa isi yang menggelitik kita untuk berpikir.
Lagi, ejaan dan gramar yang tersusun rapi menjadi bukti bahwa Dee adalah
pemerhati EYD dalam setiap karangannya.
Buku ini berpotensi untuk menjadi buku kumpulan cerpen, jika saja
beberapa tulisan prosa dapat dikembangkan seperti halnya Filosofi Kopi, Mencari
Herman, dan Rico de Coro. Bukannya malah dibiarkan terlalu singkat sehingga
terkesan bahwa karya-karya ini terlalu dipaksakan untuk menjadi sebuah buku.
Bahkan terkesan hanya menjadi cerita pelengkap saja, hanya membaur ke dalam
cerpen-cerpen yang menjadi minoritas namun mendapat peran penting dalam buku
ini. Beberapa karya yang terlalu dipaksakan itu antara lain, Salju Turun, Kunci
Hati, Selagi Kau Lelap, Jembatan Zaman, Kuda Liar, Diam, Cuaca, Lilin Merah,
Spasi, dan Cetak Biru. Namun itu semua tidak terlalu mempengaruhi para pembaca
dalam menikmati novel ini, mengingat bahasa yang disiratkan Dee begitu indah
dan padat makna dalam setiap baris sajaknya.
Buku ini relevan bagi pembaca dari seluruh kalangan usia karena tema
yang diangkat universal, yakni cinta. Keelastisan tema membuat buku ini sarat
akan makna dan amanat. Maka dari itulah, buku ini sangat direkomendasikan
kepada siapa pun yang ingin mendengarkan penuturan bijak Dee mengenai
transformasi cinta dari sekadar sekumpulan emosi menuju sebuah eksistensi.