Bagaimana Rasanya

March 12, 2018

source: upsocl.com

Salah satu teman beberapa hari yang lalu bertanya melalui ruang obrolan sosial media, “Bagaimana rasanya?”. Aku terpaku beberapa lama meresapi pertanyaannya. Meraba-raba apa yang kira-kira tengah kurasakan saat itu untuk mengetahui bagaimana rasanya. Memangkas waktu, kuketik balasan, “Seperti abis muntah-muntah seember”. Nyatanya aku belum pernah muntah-muntah seember, tapi kalaupun pernah, mungkin kira-kira begitulah rasanya. Kosong. Hampa. Melompong. Plong. Masih mual, tapi sudah moblong.
Aku tidak membual. Teman jalang yang selalu mengajakku berbagi rasa, mengocehi sastra, meluapkan kata dalam obrolan ngopi malam hari—jika ia sedang tidak menjadi wanita karier—itu benar-benar menanyakan bagaimana rasanya melepaskan perasaan yang sudah berumur kira-kira selusin windu dalam hatiku. “Hati”, betapa kata ini terbaca menggelikan sekaligus menjijikkan kini. Jika kata bisa menguarkan aroma, ia, tak diragukan, akan bau anyir. Boleh jadi karena hatiku telah membusuk. Jantungku berdetak untuk orang yang sama, darahku mengalirkan hidup untuk orang yang sama, hatiku pasti menganggapnya racun untuk disaringnya ke dalam empedu. Tapi jantungku memompa terlalu cepat. Sehingga seringnya racun itu lolos tak tersaring dan teralirkan ke otak juga.
Untuk apa waktu yang terlalu lama mengasihi seseorang itu? Sungguh hanya jantung hatiku yang bekerja dengan menggebu. Otakku? Aku beruntung ia masih ada. Benar-benar tolol, selama ini ia hanya berfungsi untuk apa? Diktat-diktat kuliah?
Setidaknya, mereka kembali normal sekarang.
Ada enggan untuk menulis kembali tentang hati dan rasa, tapi agaknya cerita ini terlalu sayang untuk dilepas dari ingatan begitu saja. Mengingat bahwa selama ini ingatanku hanya kugunakan untuk orang yang sama. Setidaknya ia juga harus kugunakan untuk mengingat bahwa setelah ini aku telah memilih untuk tidak mengingat.
Suatu hari kau pernah mendengar pepatah, “time will heal everything”; waktu akan menyembuhkan segalanya. Suatu hari aku pernah percaya. Hingga waktu demi waktu mengkhianati dirinya sendiri. Waktu justru memperburuk. Menyiksaku setiap hari. Dengan membangun menara mimpi dan melapisinya dengan harapan yang tak lain adalah ilusi. Ia mengurungku di sana. Hari ini aku tak percaya pada waktu. Apalagi jarak. Terutama jarak. Jarak dan waktu telah melakukan tugasnya dengan sempurna untuk menyembuh. Hanya saja itu tak berlaku untukku. Terkadang aku bahkan tak percaya pada diriku. Apakah juga bagimu?
Beberapa hari yang lalu, seminggu penuh aku masih memimpikannya. Sepuluh hari penuh menguras kenangan dan air mata untuk kuperas dalam bait-bait sajak pesakitan. Kepalaku berasap hanya karena setiap menit mencari-cari alasan untuk menghubunginya. Faktanya adalah tak ada satu hari kulewati tanpa mengingatnya. Tak ada satu puisi cinta kubuat tanpa mengenangnya. Kucoba untuk menjalin hubungan dengan orang lain, tapi selalu kandas dengan aku bercerita tentangnya. Mustahilnya—karena mungkin kau enggan percaya—tapi tidak, karena sudah terjadi, adalah ini semua telah berlangsung sejak sembilan tahun yang lalu.
Jangan pernah main-main dengan kata “terlalu”, jika boleh kusarankan padamu.
Singkat ceritanya adalah aku menemukan alasan hari itu, untuk menghubunginya. Alasan terakhir yang bisa kutemukan. Membuat pengakuan gila dan mengakhiri segalanya. Tepatnya aku memintanya untuk membantuku mengakhiri segalanya. Segala yang kumulai meski sudah pernah ia akhiri tanpa pernah mengatakannya padaku dengan bahasa yang memiliki arti, alih-alih telepati.
Inti ceritanya adalah kita semua akan menemukan cara. Aku, kamu. Dia. Untuk menemukan pembebasan. Hanya jika kau memilih. Entah pilihanmu adalah menjadikan cinta sebagai luka yang nikmat dan ingin kau nikmati lamat-lamat atau lekas. Entah kau pilih untuk menjadi bodoh dan gila dalam masa yang lama, terjebak lampau yang teramat dalam. Atau kau pilih untuk melepas semuanya. Melarung rasa.
Entah bagaimana aku bisa menulis puisi setelah ini, setelah aku membiarkan pergi inspirasi. Kurasa apa yang kutulis selepas ini kudapatkan dari membacai Chairil dan Sapardi, atau menontoni Cinta dan Rangga berkali-kali. Tapi yang pasti, aku jadi bisa jatuh cinta pada apa saja. Aku jadi bisa menulis tanpa takut ia dibaca atau tidak dibaca oleh siapa saja. Aku jadi bisa merasa leluasa.
“Seperti inilah rasanya, Mbak De.”

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

His Rhyme

His Rhyme
gave me the strength