Kampusku Sekarang Jadi Kampusku
October 15, 2014
Tiba-tiba
saja, kampus menjadi tempat yang menyenangkan. Satu bulan di sini, sempat
merasa seperti orang linglung. Protes diam-diam pada sana-sini. Kewalahan
mencoba menjadi mandiri. Bingung terhadap perputaran waktu yang sekejap lenyap
lalu berganti. Canggung dengan ekspresi setiap orang yang memenuhi tiap sudut
gedung. Heran pada mereka yang berani berkata-kata, tampil berbeda, tertawa
lepas, tenggelam dalam berkas-berkas kerja, betah di perpustakaan, menari,
beraksi, berakting, berideologi. Sempat merasa, tak ada tempat bagiku di sini.
Secepat mungkin, begitu urusanku selesai, aku harus pulang. Lebih nyaman di
kamar kos. Di sana, setidaknya, aku tahu apa yang harus kukerjakan. Di sana,
setidaknya, aku bisa menjadi tak terlihat dengan menutup pintu kamar. Di
kampus, semua orang memerhatikan apa yang
kukerjakan dan apa yang tidak. Setidaknya, itulah yang aku rasakan. Dan semuanya cukup menjadi alasan di balik hilangnya semangat untuk berjalan satu setengah kilometer menuju kampus. Tapi tiba-tiba saja, kampus menjadi tempat yang menyenangkan. Dan kamar kos, yang menjadi tempat pengap tanpa warna bagi gairah.
kukerjakan dan apa yang tidak. Setidaknya, itulah yang aku rasakan. Dan semuanya cukup menjadi alasan di balik hilangnya semangat untuk berjalan satu setengah kilometer menuju kampus. Tapi tiba-tiba saja, kampus menjadi tempat yang menyenangkan. Dan kamar kos, yang menjadi tempat pengap tanpa warna bagi gairah.
Hanya jika
aku mampu membuka mata lebih lebar sejak awal, semua rahasia keindahan kampus
pasti sudah terbongkar. Memandangnya dari kacamata yang berbeda, aku pasti
sudah berterima kasih pada ‘holistik’. Karena telah membeberkan semua misteri
perspektifnya. Mengekspansi sudut persepsiku.
Di sini,
kampusku, bukan tempat untuk menyesuaikan. Ternyata, kampusku adalah tempat
untuk membebaskan. Untuk menjadi bagian dari kebesaran ini, ternyata yang
kuperlukan hanyalah menjadi “aku”. Kampusku tidak menuntut untuk menjadi
sepertinya. Kampusku bukan wadah dan kita bukan airnya. Kampusku tetap wadah,
namun kita lebih besar dari air. Kita adalah meja, kursi, penggaris, pot,
bangku taman, pelangi, kerikil, selimut. Begitupun, kampus mengizinkan kita
untuk menjadi air atau udara.
Lihat? Kita
adalah segalanya di dunia, dan kampus masih berdiri tanpa berubah. Bagaimana
mungkin aku sempat takut bergumul dengannya? Sedangkan yang lain juga sama
sepertiku, dan mereka berani. Bagaimana aku sempat malu untuk diperhatikan?
Sementara yang lain justru nyaman menjadi pusat perhatian? Karena yang lain
telah mampu memahami makna lebih dulu daripada aku.
Kemudian, poin itu muncul. Ternyata yang
terpenting adalah bukan bagaimana kita merasa peduli terhadap perhatian atau
pengabaian orang, tapi melakukan yang kau sadari apa yang seharusnya kau
lakukan saat itu juga. Rasakan saja, bagaimana efek “peduli terhadap perhatian
atau pengabaian orang” itu akan mengikutimu seperti bayangan. Dan kampus,
sesegera mungkin, menjadi tempat yang paling menyenangkan daripada sekadar kamar
kos berukuran 3x2 meter tanpa jendela dengan ranjang bertingkat dan meja
belajar penuh stiker.
0 komentar